Senin, 10 Juli 2017

LA (لا) AL-NAFIYAH LI AL-JINS 
(PENGERTIAN, BESERTA KETENTUAN DIDALAMNYA)

Oleh: Taqi Muhammadi

A.       Pengertian (لا) al-Nafiyah li al-Jins
 (لا) al-Nafiyah li al-Jinsi adalah huruf yang mengamal seperti (إِنَّ) dan digunakan untuk menafikan khabar dari isim jenis secara keseluruhan tanpa ada kemungkinan lain. adapun perbedaan antara huruf huruf tersebut dengan huruf nafi lainnya kalau huruf tersebut menafikan khabar dari isim jenis sesudahnya berdasarkan teksnya sedangkan huruf nafi yang lain menafikan khabar dari isim jenis sesudahnya berdasarkan konteks pembicaraannya.
 Apabila seseorang mendengar kata  لاَطَبِيبٌ فِى الْقَرْيَةِ (bukan satu dokter yang ada di desa tersebut) ia tidak langsung dapat mengambil kesimpulan bahwa di desa tersebut sama-sekali tidak ada dokter tanpa memperhatikan konteks pembicaraanya. Sebab secara tekstual kata tersebut tidak hanya digunakan untuk menafikan seluruh isim jenis yang terletak sesudahnya melainkan juga digunakan untuk menafikan keberadaan oknum yang ada di dalamnya. Apabila kata tersebut digunakan untuk menafikan keberadaan isim jenis yang terletak sesudahnya maka di desa tersebut memang tidak ada dokter sama sekali namun apabila kata tersebut digunakan untuk menafikan keberadaan oknum dokter maka kata tersebut hanya menafikan keberadaan seorang dokter, bukan dua orang dokter atau lebih.
Namun apabila ia mendengar kata لاَطَبِيبَ فِى الْقَريَةِ (tidak ada seorang dokterpun di desa tersebut) maka ia langsung dapat mengambil kesimpulan bahwa di desa tersebut tidak ada dokter sama sekali. oleh karena itu seseorang tidak dibenarkan mengucapkan kata لاَطَبِيبَ فِى الْقَريَةِ بَلْ طَبِيْبَيْنِ (bukan satu orang dokter yang ada di desa tersebut melainkan dua) kalau ia bermaksud menafikan keberadaan satu oknum dokter bukan dua atau lebih, sebab secara harfiyah kata tersebut hanya digunakan untuk menafikan keberadaan isim jenis secara keseluruhan bukan menafikan oknum-oknum yang ada di dalamnya.

B.        Hukum kalimat yang terletak sesudah (لا) al-Nafiyah li al-Jins
(لا) al-Nafiyah li al-Jins adalah amil nawasikh yang dapat menshabkan isim dan merafakkan khabarnya seperti lafadh  إِنَّ . hanya saja huruf tersebut dapat mengamal seperti إِنَّ apabila:
1.      Huruf tersebut digunakan untuk menafikan khabar dari isim jenis sesudahnya secara keseluruhan.
Kalau huruf tersebut tidak digunakan untuk menafikan isim jenis secara keseluruhan maka huruf tersebut tidak dapat mengamal seperti إِنَّ . Contoh: لاَكِتَابٌ فِى الْحَقِيْبَةِ بَلْ كِتَابَانِ (bukan satu buku yang ada di dalam tas tapi dua)
2.      Huruf tersebut secara harfiyah digunakan untuk menafikan isim jenis sesudahnya. jika terjadi ketidak jelasan apakah huruf tersebut menafikan isim jenis sesudahnya secara keseluruhan atau tidak maka huruf tersebut tidak dapat mengamal seperti إِنَّ . contoh:
لاَمِصْبَاٌحٌ مَكْسُورٌ ـ لاَمِصْبَاحٌ مَكْسُورًا
3.      Isim dan khabarnya sama-sama terdiri dari isim nakirah. namun apabila isim ataupun khabarnya terdiri dari isim makrifat maka huruf tersebut  wajib muhmal dan disebut berulang-ulang. Contoh: لاَسَعِيْدٌ فِى الْمَدْرَسَةِ وَلاَخَلِيلٌ
Apabila ada isim makrifat jatuh sesudah huruf tersebut namun tetap dibaca nashab seperti لاَحَاتِمَ الْيَومَ maka kalangan ahli nahwu menempuh jalan ta’wil sebagai berikut:
a.       لاَمُسَمًّى بِهَذَالْإِسْمِ الْيَوْمَ (saat ini tidak ada orang yang memiliki nama hatim)
b.      لاَمِثْلَ حَاتِمٍ الْيَوْمَ  (saat ini tidak ada orang yang seperti hatim)
c.       لاَكَرِيْمَ الْيَوْمَ (saat ini tidak ada orang yang murah hati)
4.      Huruf tersebut tidak berada diantara amil dan ma’mulnya. Contoh:  سَافَرْتُ بِلاَزَادٍ
5.      Tidak ada pemisah antara huruf tersebut dengan isimnya. Oleh karena itu, apabila ada kalimat lain yang memisahkan keduanya, meskipun berupa khabar maka huruf tersebut wajib muhmal dan disebut berulang-ulang. Contoh:  الْحَقِيْبَةِ كِتَابٌ وَلاَقَلَمٌ لاَفِى  
C.      Hukum isim dan khabarnya (لا) al-Nafiyatu li al-Jinsi
Secara garis besar, kalimat-kalimat yang menjabat sebagai isimnya (لا) al-Nafiyah li al-Jinsi dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:  
1.      mufrad: kata yang tidak masuk pada kelompok mudlaf atau syibhu mudlaf. Adapun kriteria dari kelompok tersebut yaitu tidak mengamal pada kalimat sesudahnya. contoh:  لاَرَيْبَ فِيهِ 
adapun keadaan huruf terakhir dari isim tersebut dimabnikan atas tanda nashabnya serta tidak boleh ditanwinkan. Apabila isimnya berbentuk mufrad atau jamak taksir maka kalimat tersebut dimabnikan atas fathah. Contoh:  فِى الْحَقِيْبَةِ ـ لاَكُتُبَ فِى الْحَقِيْبَةَلاَكِتَابَ 
namun apabila isimnya berbentuk tatsniyah atau jama’ mudzakkar salim maka isim tersebut dimabnikan atas ya’. Contoh: لاَحَاسِدَيْنِ مُتَعَاوِنَانِ 
dan apabila isimnya berbentuk jamak muannats salim maka isimnya dimabnikan atas  kasrah. Contoh: لاَمُسْلِمَاتٍ حَاضِرَاتٌ
2.      mudhaf:  adapun keadaan huruf terakhir dari isim tersebut harus dibaca nashab. Contoh: لاَشَاهِدَزُورٍمَحْبُوبٌ 
3.      syibhu al-mudlaf: kalimat yang terletak sesudah isim tersebut dalam rangka menyempurnakan maknanya dengan syarat isim tersebut mengamal pada kalimat sesudahnya, terlepas apakah kalimat tersebut menjabat sebagai fail, naibul fail, maf’ul serta dharaf dan jar-majrur yang bertaalluq pada isim tersebut. Contoh:
لاَقَبِيحًاخُلْقُهُ مَحْبُوبٌ ـ لاَمَذْمُومٌ فِعْلُهُ عِنْدَنَا ـ لاَطَالِبًاعِلْمًاحَاضِرٌ ـ لاَقَاعِدًاعَنْ الْجِهَادِ مَعْذُورٌ ـ لاَحَارِسَ بِا للَّيْلِ نَائِمٌ
Dalam bab ini imam sibawaih beranggapan bahwa (لا) al-Nafiyatu li al-Jinsi beserta isimnya menempati posisi rafa’ (mahal rafa’) karena menyandang jabatan sebagai mubtada    (لا + اسم = مبتداء).
D.          Keadaan akhir kata dari isim yang terletak sesudah (لا) nafi yang berulang-ulang
Apabila (لا) disebut berkali-kali dalam struktur kalimat sedangkan isim yang terletak sesudah kedua huruf nafi tersebut berupa kalimat mufrad maka hukumnya adalah sebagai berikut:
1.      Apabila kata yang terletak sesudah huruf nafi yang pertama dimabnikan atas tanda nashabnya sebagai isimnya (لا) al-Nafiyatu li al-Jinsi maka isim yang terletak sesudah huruf nafi yang kedua bisa dibaca:
a.       Mabni atas tanda nashab dengan alasan huruf nafi yang kedua dalam susunan kalimat tersebut mengamal seperti إِنَّ sedangkan kedua kalimat yang berada di belakangnya dianggap sebagai isimnya. Contoh: وَلاَقُوَّةَ   لاَحَوْلَ   
Adapun khabar dari kedua kata tersebut sama-sama dibuang dan asalnya adalah لاَحَوْلَ مَوْجُودٌ وَلاَقُوَّةَ مَوْجُودٌ
b.      Dinashabkan dengan alasan huruf nafi yang kedua merupakan huruf zaidah li al-taukid yang tidak dapat mengamal sedikitpun sedangkan kata yang terletak sesudah huruf  tersebut diathafkan pada mahal dari isim di depannya. Karena meskipun isim di depannya mabni fathah namun mahalnya nashab. Contoh:  وَلاَقُوَّةً لاَحَوْلَ 
Dan model bacaan ini adalah model bacaan yang paling lemah. 
c.       Rafa’ dengan alasan huruf nafi yang kedua merupakan huruf zaidah sedangkan kalimat sesudahnya menjabat sebagai mubtada’. Adapun khabar dari kata tersebut dibuang dan perkiraannya adalah kata مَوْجُودٌ  . contoh: وَلاَقُوَّةٌ لاَحَوْلَ   
Disamping itu, huruf tersebut juga dapat dianggap sebagai saudaranya لَيْسَ sedangkan kata قُوّةٌ  menjabat sebagai isim dari huruf tersebut. sementara khabar dari kata tersebut adalah kata مَوجُودًا yang dibuang.
Atau juga dapat dianggap sebagai huruf zaidah sedangkan kalimat sesudahnya diathafkan pada mahal dari (لا) yang pertama beserta isimnya. Karena keduanya menempati posisi mubtada’ yang marfu’ maka isim yang diathafkan pada keduanya juga harus dirafakkan.
2.      Apabila kata yang terletak sesudah (لا) yang kedua dibaca rafa’ entah sebagai isimnya (لا) al-amilatu amala laisa atau sebagai mubtada’ maka kata yang terletak sesudah huruf nafi yang kedua dibaca:
a.       Rafa: dengan alasan huruf nafi yang kedua merupakan huruf zaidah sedangkan kalimat sesudahnya menyandang sebagai mubtada’. Adapun khabar dari kata tersebut dibuang dan perkiraannya adalah kata مَوْجُودٌ. Contoh:لاَحَوْلٌ وَلاَقُوَّةٌ    
Di samping itu, huruf tersebut juga dapat dianggap sebagai saudaranya لَيْسَ sedangkan kata قُوّةٌ  menyandang jabatan sebagai isimnya. Adapun khabar khabar dari kata tersebut adalah kata مَوجُودًا yang dibuang.
b.      Mabni atas tanda nashab dengan alasan huruf nafi yang kedua dalam susunan kalimat tersebut bisa mengamal seperti إِنَّ sedangkan kalimat yang berada di belakangnya menyandang jabatan sebagai isimnya. Contoh: لاَحَوْلٌ وَلاَقُوَّةَ

E.           Hukum kalimat yang menjadi na’at dari isimnya (لا) al-Nafiyatu li al-Jinsi
Apabila kalimat yang menjabat sebagai isimnya (لا) al-Nafiyatu li al-Jinsi diikuti oleh na’at  maka hukumnya adalah sebagai berikut:
1.      Apabila isimnya berbentuk mufrad dan bersambung dengan na’atnya maka dalam naatnya terdapat tiga alternatif, yaitu:
a.       Nashab: dengan alasan keadaan huruf terakhirnya mengikuti mahal dari isim yang ada di depannya. Contoh: لاَتَاجِرَخَدَّاعًانَاجِحٌ 
b.      Mabni atas tanda nashabnya karena membayangkan bahwa kata tersebut tersusun bersama isimnya (لا) al-Nafiyatu li al-Jinsi seperti isim-isim yang tersusun dari dua kalimat namun dianggap sebagai satu kalimat dan dimabnikan atas fathah seperti susunan kata بَيْتَ بَيْتَ dan lain-lain. Contoh: لاَتَاجِرَخَدَّاعَ نَاجِحٌ
c.       Rafa’: dengan alasan ikut pada mahal dari (لا) al-nafiyatu li al-Jinsi beserta isimnya. Contoh: لاَتَاجِرَخَدَّاعٌ نَاجِحٌ
2.      Apabila isimnya berbentuk mudlaf, syibhu mudlaf, atau mufrad tapi tidak bersambung dengan na’atnya maka dalam na’atnya terdapat dua alternatif:
a.       Nashab: dengan alasan keadaan huruf terakhirnya mengikuti mahal isimnya. Contoh:  لاَتَاجِرَخَشَبٍ خَدَّاعًا نَاجِحٌ ـ لاَتَاجِرَوَصَانِعَ خَدَّاعَيْنِ نَاجِحَانِ
b.      Rafa’: dengan alasan keadaan huruf terakhirnya ikut pada mahalnya (لا) al-Nafiyatu li al-Jinsi beserta isimnya. Contoh:  لاَطَالِبَ الْعِلْمِ كَسْلاَنُ عِنْدَنَا     
F.            Hukum kalimat yang diathafkan pada isimnya (لا) al-nafiyatu li al-Jinsi
Apabila ada isim yang athaf pada isimnya (لا) al-nafiyatu li al-Jinsi dengan tidak mengulang-mengulang huruf nafi maka hukumnya adalah sebagai berikut:
1.      Apabila ma’thufnya berbentuk nakirah maka isim yang terletak sesudah wau athaf bisa dibaca rafa, nashab, dan mabni baik isim tersebut berbentuk mufrad atau ghairu mufrad. Contoh:
-لَا رَجُلَ وامرأةٌ/ لارجلَ وامرأةً
- لاقَلَمَ وَكِتَابُ نَحْوٍ/ لاَقَلَمَ وَكِتَابَ نَحْوٍ

2.      Apabila ma’thufnya berbentuk makrifat maka isim yang terletak sesudah wau athaf hanya boleh dibaca rafa’. Contoh:    لاَقَلَمَ وَكِتَابُ الْفِقْهِ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar