Senin, 10 Juli 2017

IBDAL

oleh: taqi muhammadi

A.    Pendahuluan
Dalam tata bahasa arab dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan perubahan huruf yaitu:
1.      Qalb: adalah cabang dari i’lal yang menerangkan tentang perubahan salah satu  huruf illat pada huruf illat yang lain. Seperti perubahan wau menjadi alif dalam kata قَالَ asalnya قَوَلَ
2.      Ibdal: adapun arti dari kata tersebut adalah membuang suatu huruf dan menempatkan huruf lain di tempatnya baik kedua huruf tersebut sama-sama terdiri huruf illat, huruf shahih, atau tidak sama. Seperti perubahan  huruf tsa’ (ث) dalam kata تَلَعْثَمَ menjadi dzal (ذ).
3.      Iwadh: yaitu membuang huruf karena ada huruf lain baik ditempatkan di tempat huruf yang terbuang atau tidak. Seperti: عِدَةُ asalnya وِعْدٌ
Adapun usaha yang dapat dilakukan untuk mengetahui huruf iwadh dan muawwadhnya (huruf yang dibuang) hanya dapat dilakukan dengan mengamati sumber-sumber bahasa arab.
B.     Huruf-huruf ibdal dan beberapa ketentuan di dalamnya
Huruf ibdal sharfiy hanya terdiri dari Sembilan huruf, salah satu di antara huruf tersebut dapat diganti dengan huruf ibdal yang lain. Dan beberapa nahwiyin  mengumpulkan kesembilan huruf itu dalam rangkaian kata (هَدَأْتَ مُوطِيًا )
Huruf ha’ (ه) dapat menjadi ganti dari ta’ ta’nits ketika dibaca waqaf. Seperti kata بَيِّنَةٌ ketika dibaca waqaf menjadi بَيِّنَهْ
Huruf hamzah dapat digunakam sebagai ganti dari huruf wau, ya’, dan alif. Hanya saja dua huruf yang pertama wajib diganti dengan hamzah apabila:
1.      Kedua huruf tersebut berada di akhir kata dan di depannya terdapat alif zaidah. Seperti: دُعَاءٌ ـ بِنَاءٌ asalnya adalah دُعَاوٌ ـ بِنَايٌ
Namun apabila di depan kedua huruf tersebut merupakan alif asli maka kedua huruf tersebut tidak dapat diganti dengan huruf apapun: 
2.      Salah satu di antara dua huruf tersebut berposisi sebagai ainnya isim fail dari fiil yang mu’tal ain. Seperti: صَائِمٌ ـ بَائِعٌ   asalnya صَاوِمٌ ـ بَايِعٌ
Namun apabila salah satu diantara dua huruf yang pertama hanya berposisi sebagai ainnya isim fail dari fiil yang tidak mu’tal ain maka kedua huruf tersebut tidak bisa diganti dengan huruf lain. Seperti: عَوِرَ  isim failnya adalah عاوِرٌ
3.      Salah satu di antara ketiga huruf itu berada di belakang alif zaidah dalam kata (مفاعِلُ) pada waktu berbentuk jamak taksir dengan syarat ketiga huruf tersebut merupakan huruf mad zaidah yang terletak di urutan ketiga pada waktu mufradnya. Seperti: عَجُوزٌ- عَجَائِز/صَحِيفَةٌ – صَحَائِفُ / قَلاَدَةٌ - قَلاَئِدُ
Namun apabila huruf tersebut bukan huruf mad ataupun huruf zaidah maka huruf-huruf tersebut tidak dapat digantikan dengan huruf apapun. Seperti: قَسْوَرَةٌ ـ قَسَاوِرُ  /  مَعِيْشَةٌ ـ مَعَايِشُ
Keterangan:
Dan apabila lam dari kata tersebut terdiri dari huruf illat atau hamzah (contoh: خَطِيئَةٌ- قَضِيَّةٌ) maka pada waktu diubah ke dalam bentuk jama’ taksir dengan pola (مفاعِلُ) huruf mad zaidah yang asalnya diganti dengan alif harus diganti lagi dengan ya’ yang berharkat fathah littakhfif. seperti:
 قَضِيَّةٌ ----> قَضَايِيٌ ----> قَضَائِيٌ -----> قَضَايَا         
Akan tetapi menurut aliran kufah huruf mad zaidah yang terdapat dalam kata (قَضِيَّةٌ) dan sejenisnya tidak perlu diganti dengan huruf apapun ketika diubah ke dalam bentuk jamak taksir karena menurut mereka jamak taksir dari kata tersebut dan sejenisnya tidak mengikuti wazan (مفاعِلُ) namun mengikuti wazan (فَعَالَى)
4.      Salah satu di antara huruf wau dan ya’ merupakan huruf illat yang kedua dari dua huruf illat yang berada di antara alif zaidah dalam kata (مفاعِلُ) ketika berbentuk jamak taksir terlepas apakah kedua huruf tersebut merupakan huruf yang sama atau berbeda. Contoh:
نَيِّفٌ ـ أَوَّلٌ ـ  سَيِّدٌ /  نَيَائِفُ ـ أَوَائِلُ ـ سَيَائِدُ
5.      Wau pertama di antara dua wau yang terletak di permulaan kata harus diganti dengan hamzah apabila wau yang kedua bukan ganti dari alif dalam kata (فَاعَلَ). Seperti kata واثِقَةٌ  pada waktu diubah ke dalam bentuk jamak taksir dengan pola (فَوَاعِلُ):   ---> وواثِقَةٌ ---> أَواثِقُ  وَاثِقَةٌ
Atau seperti bentuk muannats dari kata (أَوَّل) :   وُوْلَى  ----->  أُولَى
Namun apabila wau yang kedua merupakan ganti dari alif dalam setiap kata yang mengikuti wazan (فَاعَلَ) maka pada waktu dibina’ majhul wau yang pertama bisa digantikan dengan alif maupun tidak: وَافَى ---< وُوفِيَ أو أُوفِيَ

Sedangkan wau dan ya’ dapat digunakan sebagai ganti dari hamzah apabila:
1.      Berkumpulnya dua hamzah dalam satu kalimat dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Apabila kedua huruf tersebut berada di akhir kata maka hamzah yang kedua wajib diganti dengan huruf ya’ dalam keadaan apapun. Seperti:
قَرْأَأٌ – قِرْئِئٌ ـ قُرْأُأٌ----- قَرْأَيٌ – قِرْءٍ ـ قُرْءٍ[1]
b.      Apabila kedua huruf tersebut berada dipermulaan kata hanya saja hamzah yang kedua berharkat sukun maka hamzah yang kedua wajib diganti dengan huruf yang sesuai dengan harkat dari huruf di depannya. Seperti: إيمَانٌ asalnya إِإْمَانٌ
c.       Apabila kedua huruf tersebut sama-sama berharkat dan berada di permulaan kata  namun huruf  hamzah yang kedua berharkat kasrah (terlepas apakah huruf hamzah yang pertama itu berharkat fathah, kasrah ataupun dhammah) maka huruf keduanya harus diganti dengan ya’. seperti kata أَمَّ (bermaksud) di ubah ke dalam wazan  أَصْبِعٌ ـ إِصْبِعٌ ـ أُصْبِعٌ  maka akan menghasilkan kata baru yaitu: أَأْمِمٌ ـ أِإْمِمْ ـ أُأْمِمٌ  kemudian harkat kasrah dari huruf mim yang pertama dari ketiga kata tersebut dipindah pada huruf hamzah yang sukun supaya bisa mengiidghamkan dua huruf mim dan terbentuklah kata أَإِمٌّ  - إِإِمٌّ - أُإِمٌّ   namun perubahan kata tidak berhenti sampai disitu saja karena setelah itu huruf hamzah yang kedua diganti dengan ya’ karena berharkat kasrah dan terletak sesudah hamzah yang berharkat dan setelah menjalani proses yang cukup panjang barulah terbentuk suatu kata baru yaitu:  أَيِمٌّ ـ إِيِمٌّ ـ أُيِمٌّ
d.      Apabila hamzah yang kedua berharkat fathah maka huruf tersebut harus diganti dengan wau sewaktu hamzah yang ada di depannya berharkat fathah atau dlammah. Seperti kata أَوَادِمُ ـ أُوَيْدِمُ[2] asalnya أَآدِمُ ـ أُأَيْدِمُ   
Namun apabila hamzah yang ada di depannya berharkat kasrah maka hamzah yang kedua harus diganti dengan huruf ya. seperti:
إِأْمَمٌ ----> إِأَمٌّ ----> إِيَمٌّ
e.      Dan apabila hamzah yang kedua berharkat dlammah maka huruf tersebut harus diganti dengan wau terlepas apakah huruf sebelumnya berharkat fathah, kasrah atau dlammah. Seperti jamak taksir dari kata (أَبٌّ)[3]yaitu  أَأْبُبٌ àأَأُبٌّàأَوُبٌّ    
Perhatian:
Apabila dalam suatu kalimat terdapat dua hamzah yang berharkat namun hamzah yang pertama merupakan huruf mudhara’ah maka hamzah yang kedua bisa diganti ataupun tidak. Seperti:  [4]أَئِنُّ ـ أَأُمُّ / أَيِنُّ ـ أَوُمُّ
2.      Huruf hamzah yang merupakan ganti dari huruf illat dan terletak sesudah alif dalam kata (مَفَاعِلُ) harus diganti lagi dengan huruf ya’ apabila lamya terdiri dari huruf hamzah ataupun huruf illat. Seperti jamak taksir dari kata بَرِيئَةٌ
----> بَرَائِئُ ---- >  بَرَايِئُ ---- > بَرَاءَيُ -----> بَرَاءَا --- > بَرايَا[5] بَرَايِئُ

Sedangkan huruf ya’ dapat digunakan sebagai ganti dari alif dalam dua tempat yaitu:
1.      Terletak sesudah kasrah, seperti jamak taksir dari kata (سُلْطَان ـ مِصْبَاحٌ): سَلاَطِينً ـ مَصَابِيحُ
2.      Terletak sesudah ya’ tashghir. Seperti kata كُتَيِّبٌ ـ سُحَيِّبٌ yang merupakan shighat tashghir dari kata كِتَابٌ ـ سَحَابٌ
Huruf ya’ dapat digunakan sebagai ganti dari wau dalam sepuluh tempat. Yaitu:
1.      Apabila terletak diakhir kalimat dan di depannya terdapat huruf yang berharkat kasrah. Seperti kata رَضِيَ ـ قَوِيَ ـ السَّامِى  asalnya adalah رَضِوَ ـ قَوِوَ  
Ketentuan tersebut tidak berubah meskipun sesudah huruf tersebut diberi tambahan ta’ ta’nits dan alif dan nun yang di ainnya kasrah. Seperti قَوِيَتْ ـ شَجِيَانٌ asalnya قَوِوَتْ ـ شَجِوَانٌ
2.      Apabila wau merupakan ain dari mashdar dan huruf tersebut dii’lal (diubah ke dalam huruf lain) sewaktu berbentuk fiil madli dengan syarat di depannya berharkat kasrah dan di belakangnya terdapat alif. Seperti kata قِيَامٌ ـ صِيَامٌ asalnya adalah صِوَامٌ ـ قِوَامٌ
Dan apabila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi maka huruf tersebut tidak boleh diganti seperti huruf wau dalam kata سِوَارٌ dengan alasan bukan  merupakan mashdar  serta huruf wau dalam kata حَاوَرَ ـ حِوَارًا dengan alasan waunya tidak diganti dengan huruf lain sewaktu berbentuk fiil madli.     
3.      Apabila waunya merupakan ain dari jamak taksir shahihul akhir yang mengikuti wazan فِعَالٌ. dengan syarat huruf tersebut dii’lal atau disukunkan sewaktu masih berbentuk isim mufrad. Seperti kata ثِيَابٌ ـ دِيَارٌ  jamak taksir dari kata ثَوْبٌ ـ دَارٌ  
Namun apabila huruf tersebut merupakan ain dari jamak taksir shahihul akhir yang pada wazan  maka huruf tersebut tidak bisa dii’lal (diubah kedalam huruf lain). Seperti jamak taksir dari kalimat كُوزٌـ عُودٌ yaitu كِوَزَةٌ ـ عِوَدَةُ
Begitu juga ketika huruf waunya tidak dii’lal atau disukunkan. Seperti jamak taksir dari kata طَوِيلٌ yaitu طِوَالٌ
Namun apabila huruf tersebut merupakan ain dari jamak taksir yang mengikuti wazan فِعَلٌ  maka huruf tersebut lebih banyak dii’lal daripada ditashih. Contoh:
4.      Apabila waunya merupakan huruf terakhir dalam fiil madly yang terdiri dari empat huruf atau lebih. Contoh: اصْطَفَى 
5.      Huruf tersebut dibaca sukun, tidak bertasydid dan di depannya terdapat huruf yang berharkat kasrah. Contoh: مِيْزَانٌ ـ مِيعَادٌ  asalnya مِوْزَنٌ ـ مِوْعَدٌ
6.      Wau merupakan lam dari setiap kalimat yang mengikuti pola (فُعْلَى) dengan syarat kata tersebut berupa kata sifat. Contoh: دُنْيَا asalnya دُنْوَى
Namun apabila kata tersebut berupa isim mahdlah maka huruf tersebut tidak perlu diganti dengan huruf apapun. Contoh: خُزْوَي
7.      Wau berkumpul dengan ya’ dalam satu kalimat dengan syarat tidak ada sesuatupun yang memisahkan keduanya, sedangkan huruf pertama diantara kedua huruf tersebut merupakan huruf ashli yang disukunkan dengan sukun ashli. Contoh: سَيِّدُ ـ طَيٌّ asalnya سَيْوِدٌ ـ طَوْيٌ   
Namun apabila huruf pertama diantara dua huruf tersebut merupakan ganti dari huruf lain maka huruf tersebut maka huruf tersebut tidak perlu dii’lal. Seperti huruf wau dalam kata  رُوْيَةٌ  asalnya رُؤْيَةُ
Demikian juga ketika huruf yang pertama tidak disukunkan atau disukunkan dengan sukun yang tidak ashli. Seperti: طَوِيلٌ ـ قَوْيَ  
8.      wau merupakan lamnya isim maf’ul dari fiil madly yang ainnya dibaca kasrah (فَعِلَ) seperti isim maf’ul dari kata رَضِيَ ـ قَوِيَ  yaitu: مَرْضِيٌّ ـ مَقْوِيٌّ   (asalnya مَرْضُوٌّ ـ مَقْووٌّ)
Namun apabila ainnya tidak dibaca kasrah maka waunya lebih baik tidak dii’lal. Seperti isim maf’ul dari kata غَزَا ـ دَعَا yaitu: مَغْزُوٌّ ـ مَدْعُوٌّ

Sedangkan wau harus digunakan sebagai ganti dari alif apabila terletak sesudah harkat dlammah. Seperti kata شَارَكَ ketika dibina’ majhul yaitu شُورِكَ
 Disamping itu, huruf tersebut juga dapat digunakan sebagi ganti dari ya’. Hal itu bisa terjadi apabila:
1.      Huruf ya’ mati yang terletak sesudah harkat dlammah selain dalam jamak taksir yang ikut pada wazan (فُعْلٌ). Seperti: مُوْقِنٌ  asalnya مُيْقِنٌ[6] 
Akan tetapi, jika kasus tersebut terdapat pada jamak taksir yang ikut pada wazan (فُعْلٌ) maka huruf ya’ tidak perlu diganti dengan wau namun harkat dlammah di depannya diubah menjadi kasrah. Seperti jamak taksir dari kata أَبْيَضٌ  yaitu بِيضٌ asalnya بُيْضٌ  
2.      Huruf ya’ merupakan lam fiil dan di depannya terdapat dlammah. Seperti kata نَهَى ـ قَضَى ketika hendak diubah ke dalam wazan فَعُلَ dengan tujuan ta’jub. Yaitu: نَهُوَ ـ قَضُوَ
Terkadang huruf tersebut merupakan lam dari kata yang berakhiran ta’ ta’nits yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah kalimat. seperti kata رَمَى ketika diubah ke dalam wazan مَقْدُرَةٌ menjadi مَرْمُوَةٌ asalnya مَرْمُيَةٌ  
3.      Huruf ya’ menjadi lam dari setiap isim mahdlah yang mengikuti pola فَعْلَى  seperti kata تَقْوَي ـ فَتْوَي asalnya تَقْيَا ـ فَتْيَا  
Namun apabila kata tersebut merupakan kata sifat maka huruf tersebut tidak perlu diganti dengan huruf lain seperti bentuk muannats dari kata خَزْيَانُ ـ صَدْيَانُ yaitu خَزْيَا ـ صَدْيَا
4.      Apabila huruf ya’ merupakan ain dari setiap kata yang mengikuti pola فُعْلَى. Dengan syarat kata tersebut merupakan isim mahdlah. Contoh: طُوبَى[7] asalnya طُيْبَى 
Namun apabila kata tersebut merupakan kata sifat maka huruf tersebut boleh diganti dengan wau atau dibiarkan tanpa perubahan dengan syarat huruf di depannya diganti kasrah. Seperti bentuk muannats dari kata أَكْيَسُ ـ أَضْيَقُ  yaitu كُوسَى / كِيسَىضُوقَى / ضِيْقَى
Hukum mengganti wau dan ya’ dengan alif
Apabila alif berada diposisi ain atau lamnya fiil madli maka dapat dipastikan huruf tersebut merupakan ganti dari wau ataupun ya’. Contoh: صَامَ ـ بَاعَ ـ سَمَا ـ جَرَي asalnya صَوَمَ ـ بَيَعَ ـ سَمَوَ ـ جَرَيَ adapun petunjuk untuk mengetahui asal mula dari huruf tersebut yaitu dengan mengamati mashdar dari fiil-fiil tersebut. akan tetapi perubahan tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan terkumpulnya sepuluh persyaratan:
1.      Kedua huruf illat tersebut berharkat. Oleh karena itu, apabila kedua huruf tersebut tidak berharkat maka perubahan tersebut tidak akan terjadi. Seperti: قَوْلٌ
2.      Harkat dari kedua huruf tersebut ashli. Oleh karena itu huruf illat dalam kata تَوَمٌ ـ جَيَلٌ (asalnya تَوْءَمٌ dan جَيْأَلٌ) tidak dapat diganti karena harkat dari kedua huruf tersebut merupakan harkat yang dipindah dari hamzah (setelah huruf tersebut dibuang terlebih dahulu).
3.      Harkat huruf yang ada di depannya adalah harkat fathah. oleh sebab itu huruf ilaat dalam kata عِوَضٌ ـ دُوَلٌ tidak mengalami perubahan apapun.
4.      Harkat fathah yang ada di depan kedua huruf tersebut bertemu dalam satu kalimat.
5.      Apabila kedua huruf tersebut merupakan ain dari suatu kalimat maka huruf yang terletak di belakang huruf tersebut harus berharkat. dan apabila kedua huruf tersebut merupakan lam dari suatu kalimat maka huruf sesudahnya harus tidak terdiri dari alif ataupun ya’ yang bertasydid. Oleh karena huruf illat dalam kata بَيَانٌ ـ طَوِيْلٌ ـ خَوَرْنَقْ tidak dapat dii’lal dengan alasan kalimat sesudahnya mati.
 Demikian pula dengan huruf illat yang terdapat dalam kata عَصَوَانِ ـ عَلَوِيٌّ  dengan alasan huruf tersebut berposisi sebagai lam kalimat dan di belakangnya terdapat alif ataupun ya’ yang bertasydid.
6.      Salah satu diantara kedua huruf tersebut bukan merupakan ain dari fiil madly atau mashdar yang sifat musyabbahahnya mengikuti pola أَفْعَلَ oleh karena itu huruf wau dalam kata-kata berikut tidak mengalami perubahan: عَوِرَ ـ عَوَرٌ ـ أَعْوَرُ 
7.      Wau bukan merupakan ain dari fiil madli yang mengikuti pola إِفْتَعَلَ dan menunjukkan arti mufaalah. Oleh sebab itu, huruf wau dalam kata اشْتَوَرَ ـ اجْتَوَرَ  tidak dapat diganti. Dan apabila fiil tersebut tidak menunjukkan arti mufaalah maka huruf tersebut wajib diganti dengan alif. Seperti: اجْتَازَ- اخْتَانَ
Akan tetapi ketentuan ini hanya berlaku untuk wau bukan ya’. Oleh sebab itu huruf ya’ tetap bisa diganti alif meskipun huruf tersebut merupakan ain fill dari setiap kata yang mengikuti pola إِفْتَعَلَ dan menunjungkkan arti musyarakah. Seperti: اِسْتَافُوا adapun asal dari kata tersebut adalah اسْتَيَفُوا
8.      Huruf yang terletak sesudah wau ataupun ya’ bukan merupakan huruf yang harus diganti alif. Untuk menghindari berkumpulnya dua huruf yang mengalami perubahan secara berturut-turut. Dan apabila sesudah kedua huruf tersebut terdapat huruf yang harus diganti dengan alif maka cukup mengganti huruf yang terakhir saja. Seperti bentuk mashdar dari kata جَوِيَ ـ هَوِيَ ـ حَيِيَ yaitu: حَيَا ـ هَوًى ـ جَوًى adapun asal dari kata-kata tersebut adalah حَيَوٌ ـ هَوَيٌ ـ جَوَيٌ 
namun dalam sebagian kalimat, yang mengalami perubahan adalah huruf illat yang pertama bukan yang terakhir. seperti huruf illat yang terdapat pada kata آيَةٌ dalam satu versi disebutkan bahwa asal mula dari kata tersebut adalah أَيَيَةٌ dengan dua huruf ya’ yang berharkat dan di depannya sama-sama terdapat huruf yang berharkat fathah. namun huruf ya’ yang pertama diganti dengan alif.
9.      Salah satu diantara kedua huruf tersebut bukan merupakan ain dari setiap kata yang berakhiran huruf zaidah yang khusus masuk pada kalimat isim, seperti alif-nun serta alif maqshurah. Contoh: جَوَلاَنٌ ـ هَيَمَانُ ـ صَوَرَى ـ حَيَدَى  
Hukum mengganti wau dan nun dengan mim
a.    Mim wajib menggantikan wau dalam kata فُو yang tidak diidhafahkan. Sedangkan asal dari kata tersebut adalah فُوهٌ akan tetapi huruf terakhirnya dibuang sedangkan huruf waunya diganti dengan mim (فَمٌ). Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mim tersebut merupakan ganti dari wau adalah jamak taksirnya. Yaitu: أَفْوَاهٌ .
Namun apabila kata tersebut diidhafahkan pada isim dhahir maupun dlamir maka waunya bisa dipertahankan atau diganti dengan mim. Contoh: فُوكَ ـ فَمُكَ
b.   Mim dapat menggantikan nun dengan dua syarat. Yaitu: 1). Huruf nunnya mati 2). Sesudahnya terdapat huruf ba’ baik terletak dalam satu kalimat ataupun tidak. Contoh:  الْعُلُومِ ـ مِنْ بَعْدِهِ مَنْبَعُ 
Namun perlu diperhatikan bahwa perubahan tersebut hanya terdapat dalam pengucapannya saja. Sedangkan dalam penulisan huruf tersebut tetap seperti bentuk aslinya.

Hukum mengganti wau dan ya’ dengan ta’
Wau dan ya’ harus diganti dengan ta’ apabila kedua huruf tersebut berposisi sebagai fa’nya kata (افْتِعَالْ)  beserta semua musytaqnya (kata jadiannya) selama kedua huruf tersebut bukan merupakan ganti dari hamzah. Contoh: يَتَّسِرُ ـ يَتَّصِلُ asalnya يَيْتَسِرُ ـ يَوْتَصِلُ
Ketentuan tersebut tidak berubah meskipun kata tersebut diubah kedalam fiil madly, mashdar, isim fail’ isim maf’ul, serta fiil amar. Contoh: اتَّصَلَ ـ اتِّصَالٌ ـ مُتَّصِلٌ ـ اتَّصِلْ  
Namun apabila salah satu diantara kedua huruf tersebut merupakan ganti dari hamzah maka menurut pendapat yang lebih masyhur huruf tersebut tidak boleh diubah menjadi ta’. Seperti: ايْتَمَنَ  
Hukum mengganti huruf ta’ zaidah dalam kata افْتِعَال      
Ta’ zaidah dalam setiap kata yang mengikuti pola افتعال dan semua musytaqnya harus diganti dengan tha’ (ط) apabila huruf tersebut terdapat dalam sebuah kata yang fa’nya terdiri dari salah satu diantara empat macam huruf ithbaq, yaituص ـ ض ـ ط ـ ظ  . seperti kata صَفَا ـ ضَرَّـ طَلَعَ ـ ظَلَمَ ketika hendak diubah ke dalam wazan افتعل maka menjadi اضْطرَّ ـ اصْطَفَى ـ اطَّلَعَ ـ اظْطَلَمَ asalnya اضْتَرَّ ـ اصتَفَى ـ اطْتَلَعَ ـ اظتلم 

Setelah mengalami perubahan, huruf tha’ dalam kata افْتِعَال boleh diarkan tanpa perubahan seperti contoh di atas, boleh diidghamkan pada huruf ظ yang ada di depannya. Seperti: اظَّلَمَ , atau bahkan boleh mengidghamkan huruf di depannya pada huruf tersebut. seperti: اطَّلَمَ 
Di samping itu, huruf tersebut juga harus diganti dengan dal  (د)apabila terdapat dalam setiap kalimat yang fa’nya terdiri dari huruf د ـ ذ ـ ز contoh: اِدَّعَى ـ اِذَّخَرَ ـ ازْدَجَرَ asalnya اِدْتَعَى ـ  اِذْتَخَرَ ـ ازْتَجَرَ       
C.     I’lal bi al-Naql
I’lal bi al-naql adalah perpindahan harkat dari huruf illat kepada huruf mati yang ada di depannya. contoh:  يَخَافُ ـ يَبِيعُ ـ يَصُوْمُ asalnya يَصْوُمُ ـ يَبْيِعُ ـ يَخْوَفُ
Apabila harkat yang dipindah pada huruf di depannya sesuai dengan huruf illatnya maka huruf tersebut tidak perlu diganti huruf lain dan apabila harkat yang dipindah itu tidak cocok dengan huruf illatnya maka huruf tersebut harus diubah pada huruf illat lain yang sesuai dengan harkat huruf yang ada di depannya.
Adapun kaidah perpindahan harkat hanya dikhususkan untuk wau dan ya’ bukan alif. Hal itu karena kedua huruf tersebut bisa diberi harkat sedangkan alif tidak bisa diberi harkat.
Perpindahan harkat hanya terjadi dalam empat tempat, sedangkan huruf illat dalam keempat tempat itu seluruhnya berposisi sebagai ain kalimat dan mempunyai harkat. Adapun keempat tempat itu adalah:
1.      Huruf illatnya merupakan ain dari fiil dengan syarat huruf di depannya adalah huruf shahih dan sukun, sedangkan lam fiilnya tidak bertasydid, atau mu’tal akhir, serta tidak termasuk af’al al-taajjub. Contoh: يَصُولُ ـ يَغِيبُ asalnya يَصْوُلُ ـ يَغْيِبُ
Berdasyarkan ketentuan di atas, harkat huruf illat dalam kata قَاوَمَ ـ عَوَّقَ ـ بَيَّنَ tidak dapat dipindah pada huruf yang ada di depannya dengan alasan huruf di depannya bukan huruf shahih, demikian pula dengan harkat yang terdapat dalam kata اِبْيَضَّ ـ اسْوَدَّ dengan alasan lamnya mudlaaf, demikian pula dengan harakah dalam kata أَهْوَي ـ أَحْيَا dengan alasan mu’tal akhir, serta harkat huruf illat yang terdapat dalam kata أَضْيَقَ الثَّوب  مَا dengan alasan termsuk af’al al-taajub.
2.      Huruf illatnya merupakan ain dari isim yang memiliki kesamaan dengan fiil mudlari’ dalam wazannya (jumlah huruf dan harkatnya) saja, atau huruf tambahannya saja. Dengan syarat di dalam kata tersebut terdapat sesuatu yang membedakannya dengan fiil mudlari’. Adapun isim yang memiliki kesamaan dengan fiil mudlari’ dalam wazannya saja adalah kata مَقَامُ adapun asal dari kedua kata tersebut adalah مَقْوَمٌ   akan tetapi karena kata tersebut memiliki kesamaan jumlah huruf dan susunan harkat dengan kata [8]يَعْلَمُ maka harkat huruf wau yang terdapat dalam kata tersebut dipindah pada huruf mati yang ada di depannya. oleh sebab itu kata tersebut kemudian berubah menjadi مَقَامٌ . sungguhpun demikian, dalam kata tersebut terdapat huruf zaidah yang menunjukkan bahwa kata tersebut bukan fiil, yaitu mim yang terletak di awal kata. Adapun isim-isim yang memiliki kesamaan dengan kata tersebut adalah مُقِيمٌ ـ مُبِينٌ    
Sedangkan isim yang cuma memiliki kesamaan huruf zaidah dengan fiil mudlari’ yaitu kata بَيْعٌ ـ قَوْلٌ  yang diubah bentuknya ke dalam wazan (تِحْلِئُ) hingga menjadi تِبِيعٌ ـ تِقِيلٌ  adapun asal mula dari kata tersebut adalah تِقْوِلٌ ـ تِبْيِعٌ  akan tetapi, kedua kata tersebut mempunyai huruf zaidah yang sama dengan fiil mudlari’ yaitu huruf ta’ (ت) meskipun wazannya tidak sama dengan fiil mudlari’ (karena tidak ada satupun diantara fiil mudlari’ yang huruf pertamanya berharkat kasrah). Oleh sebab itu, harkat huruf illat yang terdapat dalam kedua kata itu harus dipindah pada huruf mati yang ada di depannya.
Dengan demikian, apabila kalimat isim berbeda dengan fiil mudlari dalam wazan dan huruf zaidahnya sekaligus, atau memiliki kesamaan dalam keduanya maka harkat huruf illat dalam kata tersebut tidak dapat dipindah pada huruf mati yang ada di depannya. seperti harkat huruf illat yang terdapat dalam kata مِخْيَاطٌ ـ أَقْوَمٌ  
3.      Huruf illat tersebut merupakan ain dari mashdar yang mengikuti pola إِفْعَالٌ ـ إِسْتِفْعَالٌ dengan syarat huruf tersebut dii’lal sewaktu berbentuk fiil. Seperti: إِقَامَةٌ ـ اسْتِقَامَةٌ  
Adapun asal mula dari kedua kata tersebut adalah إِسْتِقْوَامٌ ـ إِقْوَامٌ  kemudian harkat huruf illat dalam kedua kata tersebut harus dipindah pada huruf mati yang ada di depannya seperti saat masih berbentuk fiil. Dan sesudah itu, huruf wau harus diganti dengan alif berdasarkan aturan di depan. Akan tetapi, hal tersebut mengakibatkan berkumpulnya dua alif secara berurutan. Oleh sebab itu, alif yang kedua harus dibuang dengan alasan menghindari terjadinya hal tersebut. dan di akhir kalimat, kedua kata tersebut diberi tambahan ta’ ta’nits sebagai ganti dari alif yang dibuang. Hingga kemudian berubah menjadi  إِسْتِقَامَةٌ ـ إِقَامَةٌ  
Terkadang kedua kata tersebut tidak membutuhkan ta’ ketika diidlafahkan. Seperti firman allah taala: وَإِقَامِ الصَّلاَة   
Akan tetapi, apabila huruf tersebut tidak dii’lal sewaktu masih berbentuk fiil maka huruf tersebut juga tidak dapat dii’lal ketika berbentuk mashdar. Seperti:
 إِسْتَحْوَذَ ـ إِسْتِحْوَاذًا /أَحْيَا ـ إِحْيَاءٌ 
4.      Huruf illat merupakan ainnya maf’ul dari fiil yang mu’tal ain. Seperti: مَبِيعٌ ـ مَقُولٌ
Adapun asal mula dari kedua kata tersebut adalah مَقْوُولٌ ـ مَبْيُوعٌ namun harkat huruf illat yang ada dalam kedua kata tersebut di pindah pada huruf mati yang ada di depannya. hingga kemudian berubah menjadi مَبُيوعٌ ـ مَقُوولٌ namun perubahan tersebut tidak berhenti sampai disitu. Karena sesudah itu masih ada perubahan-perubahan yang terjadi dalam kedua kata tersebut yang secara lengkap dibahas dalam kaidah berikutnya.

D.    I’Lal bi al- Hadzfi
I’lal bi al-hadzfi atau perubahan kata yang berkenaan dengan pembuangan huruf yang bersifat qiyasi hanya terdapat dalam empat perkara. Yaitu:
1.      Hamzah yang terdapat dalam fiil madly tsulatsi mazid rubai harus dibuang sewaktu diubah ke dalam fiil mudlari’, isim fail, dan isim maf’ul. Seperti hamzah zaidah dalam kata أَكْرَمَ ketika diubah ke dalam fiil mudlari’, isim fail, dan isim maf’ul. Yaitu يُكْرِمُ ـ مُكْرِمٌ ـ مُكْرَمٌ 
2.      Wau yang merupakan fa’ dari fiil madli yang ainnya difathahkan harus dibuang pada waktu menjadi fiil mudlari’ , mashdar serta fiil amar. Seperti: وَعَدَ ـ يَعِدُ ـ عِدَةُ ـ عِدْ adapun asal dari ketiga kata tersebut ialah اِوْعِدْ ـ وِعْدٌ ـ يَوْعِدُ 
Ketentuan tersebut masih berlaku meskipun ainnya dikasrahkan dengan syarat ketika berbentuk fiil mudlari’ ainnya juga dikasrahkan. Contoh: وَرِثَ ـ يَرِثُ   
Namun apabila ainnya difathahkan sewaktu menjadi fiil mudlari’ maka fa’ dari fiil tersebut terkadang dibuang dan terkadang tidak dibuang. Contoh: وَسِعَ ـ يَسَعُ / وَجِلَ ـ يَوْجَلُ
Akan tetapi wau yang berposisi sebagai fa’ dari fiil mudlari’ hanya bisa dibuang apabila huruf mudlaraahnya berharkat fathah sedangkan ainnya berharkat kasrah. Oleh sebab itu, huruf wau dalam kata يُولَدُ ـ يَوْضُؤُ tidak dibuang.
3.      Apabila terdapat fiil madli tsulatsi mujarrad yang ainnya berharkat kasrah dan serta memiliki jenis huruf yang serupa dengan lamnya maka seseorang diperkenankan menggunakan tiga macam alternative ketika kata tersebut dihubungkan pada dlamir rafa’ mutaharrik yaitu:
a.       Cukup memisahkan dua huruf yang diidghamkan tersebut tanpa harus membuang salah satu hurufnya. Seperti: ظَلِلْتُ
b.      Cukup membuang ainnya saja tanpa harus melakukan perubahan apapun terhadap huruf yang masih ada. Seperti: ظَلْتُ
c.       Membuang ain dan memindahkan harkatnya pada huruf yang ada di depannya. seperti: ظِلْتُ   
Namun apabila fiil mudlaaf yang ainnya berharkat kasrah itu berupa fiil mudlari’ ataupun fiil amar yang bersambung dengan nun niswah maka ia diperbolehkan memisah dua huruf yang diidghamkan itu tanpa harus membuang salah satu hurufnya atau membuang ain dan memindahkan harkatnya pada huruf yang ada di depannya. Contoh:

النِّسْوَةُ يَقْرِرْنَ أَويَقِرْنَ ـ اقْرِرْنَ يَانِسْوَةٌ أَو قِرْنَ   
4.      Apabila huruf illatnya merupakan ain dari isim maf’ul maka selain harus memindah harkat ain pada huruf mati di depannya wau zaidah yang ada di dalamnya juga harus dibuang jika ainnya berupa wau, atau membuang wau zaidah dan mengkasrahkan huruf yang ada di depannya jika ainnya berupa huruf ya’. Seperti isim maf’ul dari kata قَالَ ـ بَاعَ yaitu مَقُولٌ ـ مَبِيْعٌ    
Adapun asal dari kata مَقُولٌ adalah مَقْوُولٌ tetapi kemudian harkat dlammah yang terdapat pada huruf wau dipindah pada huruf mati yang ada di depannya. namun hal ini justru mengakibatkan berkumpulnya dua huruf yang berharkat sukun secara berurutan. Oleh karena itu, menurut pendapat yang lebih kuat wau zaidahnya harus dibuang. Maka sesudah itu, isim mafulnya berubah bentuk menjadi مَقُولٌ   
Sedangkan asal dari kata مَبِيْعٌ adalah مَبْيُوعٌ akan tetapi berdasarkan kaidah sebelumnya harkat dlammah yang terdapat pada huruf ya’ harus dipindah kepada huruf yang ada di depannya. akan tetapi, hal tersebut justru mengakibatkan berkumpul dua huruf mati secara berurutan. Oleh karena itu, salah satu diantara kedua huruf tersebut harus ada yang dibuang, dan menurut pendapat yang lebih kuat huruf yang harus dibuang adalah wau zaidah. Maka isim maf’ulnya berubah menjadi مَبُيْعٌ namun harkat dlammah dalam kata tersebut diubah menjadi kasrah agar huruf ya’ di dalamnya terhindar dari perubahan[9]. Dan sesudah itu, isim maf’ulnya berubah menjadi مَبِيْعٌ   
namun dalam dialek bani tamim terdapat beberapa isim maf’ul yang tidak dii’lal meskipun ainnya terdiri dari huruf ya’. Contoh: مَبْيُوعٌ ـ مَخْيُوطٌ         




[1] Kata (قُرْئِي) asalnya adalah (قُرْؤُيٌ) kemudian harkat dhammah sebelum ya’ di ubah menjadi kasrah kemudian harkat  dari huruf terakhir harus dibuang pada waktu rafa’ dan jir karena dianggap sulit sama seperti isim manqush 
[2] Kedua kata tersebut merupakan jamak taksir dan shighat tashghir dari kata  آدَمُ
[3] Tempat gembala
[4]  Fiil mudhari’ dari kata أنَّ dan artinya adalah merintih
[5] Huruf hamzah dalam kata (بَرَاءَا) harus diubah menjadi ya’ karena terletak di antara dua alif
[6] Kata tersebut adalah isim fail dari kata أَيْقَنَ
[7] Nama surga atau nama pohon yang ada di dalamnya.
[8] sama-sama berjumlah empat huruf serta sama-sama diawali dengan harkat fathah, kemudian sukun, kemudian fathah
[9]  Pada dasarnya ya mati yang terletak sesudah harkat dlammah harus digantikan dengan wau akan tetapi ketentuan ini tidak digunakan dalam kata tersebut untuk memperlihatkan perbedaan antara fiil yang yang ajwaf wawiy dan yai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar