IBDAL
oleh: taqi muhammadi
oleh: taqi muhammadi
A. Pendahuluan
Dalam
tata bahasa arab dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan perubahan huruf
yaitu:
1.
Qalb:
adalah cabang dari i’lal yang menerangkan tentang perubahan salah
satu huruf illat pada huruf illat
yang lain. Seperti perubahan wau menjadi alif dalam kata قَالَ asalnya قَوَلَ
2.
Ibdal:
adapun arti dari kata tersebut adalah membuang suatu huruf dan menempatkan
huruf lain di tempatnya baik kedua huruf tersebut sama-sama terdiri huruf
illat, huruf shahih, atau tidak sama. Seperti perubahan huruf tsa’ (ث) dalam kata تَلَعْثَمَ menjadi dzal (ذ).
3.
Iwadh:
yaitu membuang huruf karena ada huruf lain baik ditempatkan di tempat huruf
yang terbuang atau tidak. Seperti: عِدَةُ asalnya وِعْدٌ
Adapun
usaha yang dapat dilakukan untuk mengetahui huruf iwadh dan muawwadhnya (huruf
yang dibuang) hanya dapat dilakukan dengan mengamati sumber-sumber bahasa arab.
B.
Huruf-huruf
ibdal dan beberapa ketentuan di dalamnya
Huruf
ibdal sharfiy hanya terdiri dari Sembilan huruf, salah satu di antara huruf
tersebut dapat diganti dengan huruf ibdal yang lain. Dan beberapa nahwiyin mengumpulkan kesembilan huruf itu dalam
rangkaian kata (هَدَأْتَ مُوطِيًا
)
Huruf
ha’ (ه) dapat menjadi ganti dari ta’ ta’nits ketika dibaca waqaf.
Seperti kata بَيِّنَةٌ ketika dibaca
waqaf menjadi بَيِّنَهْ
Huruf
hamzah dapat digunakam sebagai ganti dari huruf wau, ya’, dan alif. Hanya saja
dua huruf yang pertama wajib diganti dengan hamzah apabila:
1.
Kedua
huruf tersebut berada di akhir kata dan di depannya terdapat alif zaidah.
Seperti: دُعَاءٌ ـ بِنَاءٌ asalnya adalah دُعَاوٌ
ـ بِنَايٌ
Namun
apabila di depan kedua huruf tersebut merupakan alif asli maka kedua huruf
tersebut tidak dapat diganti dengan huruf apapun:
2.
Salah
satu di antara dua huruf tersebut berposisi sebagai ainnya isim fail dari fiil
yang mu’tal ain. Seperti: صَائِمٌ ـ
بَائِعٌ asalnya صَاوِمٌ ـ بَايِعٌ
Namun
apabila salah satu diantara dua huruf yang pertama hanya berposisi sebagai
ainnya isim fail dari fiil yang tidak mu’tal ain maka kedua huruf tersebut
tidak bisa diganti dengan huruf lain. Seperti: عَوِرَ isim failnya adalah عاوِرٌ
3.
Salah
satu di antara ketiga huruf itu berada di belakang alif zaidah dalam kata (مفاعِلُ) pada waktu
berbentuk jamak taksir dengan syarat ketiga huruf tersebut merupakan huruf mad
zaidah yang terletak di urutan ketiga pada waktu mufradnya. Seperti: عَجُوزٌ-
عَجَائِز/صَحِيفَةٌ – صَحَائِفُ / قَلاَدَةٌ - قَلاَئِدُ
Namun
apabila huruf tersebut bukan huruf mad ataupun huruf zaidah maka huruf-huruf
tersebut tidak dapat digantikan dengan huruf apapun. Seperti: قَسْوَرَةٌ ـ قَسَاوِرُ / مَعِيْشَةٌ ـ مَعَايِشُ
Keterangan:
Dan
apabila lam dari kata tersebut terdiri dari huruf illat atau hamzah (contoh: خَطِيئَةٌ-
قَضِيَّةٌ)
maka pada waktu diubah ke dalam bentuk jama’ taksir dengan pola (مفاعِلُ) huruf mad zaidah
yang asalnya diganti dengan alif harus diganti lagi dengan ya’ yang berharkat
fathah littakhfif. seperti:
قَضِيَّةٌ
----> قَضَايِيٌ ---->
قَضَائِيٌ ----->
قَضَايَا
Akan
tetapi menurut aliran kufah huruf mad zaidah yang terdapat dalam kata (قَضِيَّةٌ) dan sejenisnya
tidak perlu diganti dengan huruf apapun ketika diubah ke dalam bentuk jamak
taksir karena menurut mereka jamak taksir dari kata tersebut dan sejenisnya
tidak mengikuti wazan (مفاعِلُ) namun mengikuti
wazan (فَعَالَى)
4.
Salah
satu di antara huruf wau dan ya’ merupakan huruf illat yang kedua dari dua
huruf illat yang berada di antara alif zaidah dalam kata (مفاعِلُ) ketika berbentuk
jamak taksir terlepas apakah kedua huruf tersebut merupakan huruf yang sama
atau berbeda. Contoh:
نَيِّفٌ
ـ أَوَّلٌ ـ سَيِّدٌ / نَيَائِفُ ـ أَوَائِلُ ـ سَيَائِدُ
5.
Wau
pertama di antara dua wau yang terletak di permulaan kata harus diganti dengan
hamzah apabila wau yang kedua bukan ganti dari alif dalam kata (فَاعَلَ). Seperti kata واثِقَةٌ pada waktu diubah ke dalam bentuk jamak taksir
dengan pola (فَوَاعِلُ): --->
وواثِقَةٌ --->
أَواثِقُ وَاثِقَةٌ
Atau
seperti bentuk muannats dari kata (أَوَّل) : وُوْلَى -----> أُولَى
Namun
apabila wau yang kedua merupakan ganti dari alif dalam setiap kata yang
mengikuti wazan (فَاعَلَ) maka pada waktu
dibina’ majhul wau yang pertama bisa digantikan dengan alif maupun tidak: وَافَى ---< وُوفِيَ
أو أُوفِيَ
Sedangkan
wau dan ya’ dapat digunakan sebagai ganti dari hamzah apabila:
1.
Berkumpulnya
dua hamzah dalam satu kalimat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Apabila kedua huruf tersebut berada di
akhir kata maka hamzah yang kedua wajib diganti dengan huruf ya’ dalam keadaan
apapun. Seperti:
قَرْأَأٌ
– قِرْئِئٌ ـ قُرْأُأٌ----- قَرْأَيٌ – قِرْءٍ ـ قُرْءٍ[1]
b. Apabila kedua huruf tersebut berada
dipermulaan kata hanya saja hamzah yang kedua berharkat sukun maka hamzah yang
kedua wajib diganti dengan huruf yang sesuai dengan harkat dari huruf di
depannya. Seperti: إيمَانٌ asalnya إِإْمَانٌ
c. Apabila kedua huruf tersebut sama-sama
berharkat dan berada di permulaan kata
namun huruf hamzah yang kedua berharkat kasrah
(terlepas apakah huruf hamzah yang pertama itu berharkat fathah, kasrah ataupun
dhammah) maka huruf keduanya harus diganti dengan ya’. seperti kata أَمَّ (bermaksud)
di ubah ke dalam wazan أَصْبِعٌ
ـ إِصْبِعٌ ـ أُصْبِعٌ maka akan menghasilkan kata baru yaitu: أَأْمِمٌ
ـ أِإْمِمْ ـ أُأْمِمٌ kemudian harkat kasrah
dari huruf mim yang pertama dari ketiga kata tersebut dipindah pada huruf
hamzah yang sukun supaya bisa mengiidghamkan dua huruf mim dan terbentuklah
kata أَإِمٌّ - إِإِمٌّ - أُإِمٌّ namun perubahan kata
tidak berhenti sampai disitu saja karena setelah itu huruf hamzah yang kedua
diganti dengan ya’ karena berharkat kasrah dan terletak sesudah hamzah yang
berharkat dan setelah menjalani proses yang cukup panjang barulah terbentuk
suatu kata baru yaitu: أَيِمٌّ
ـ إِيِمٌّ ـ أُيِمٌّ
d. Apabila hamzah yang kedua berharkat
fathah maka huruf tersebut harus diganti dengan wau sewaktu hamzah yang ada di
depannya berharkat fathah atau dlammah. Seperti kata أَوَادِمُ
ـ أُوَيْدِمُ[2] asalnya أَآدِمُ
ـ أُأَيْدِمُ
Namun
apabila hamzah yang ada di depannya berharkat kasrah maka hamzah yang kedua
harus diganti dengan huruf ya. seperti:
إِأْمَمٌ
----> إِأَمٌّ ----> إِيَمٌّ
e. Dan apabila hamzah yang kedua berharkat
dlammah maka huruf tersebut harus diganti dengan wau terlepas apakah huruf
sebelumnya berharkat fathah, kasrah atau dlammah. Seperti jamak taksir dari
kata (أَبٌّ)[3]yaitu
أَأْبُبٌ
àأَأُبٌّàأَوُبٌّ
Perhatian:
Apabila
dalam suatu kalimat terdapat dua hamzah yang berharkat namun hamzah yang
pertama merupakan huruf mudhara’ah maka hamzah yang kedua bisa diganti ataupun
tidak. Seperti: [4]أَئِنُّ ـ أَأُمُّ / أَيِنُّ ـ أَوُمُّ
2.
Huruf
hamzah yang merupakan ganti dari huruf illat dan terletak sesudah alif dalam
kata (مَفَاعِلُ) harus diganti lagi dengan huruf ya’ apabila lamya terdiri dari
huruf hamzah ataupun huruf illat. Seperti jamak taksir dari kata بَرِيئَةٌ
Sedangkan huruf ya’
dapat digunakan sebagai ganti dari alif dalam dua tempat yaitu:
1. Terletak sesudah kasrah, seperti jamak
taksir dari kata (سُلْطَان ـ مِصْبَاحٌ): سَلاَطِينً ـ مَصَابِيحُ
2. Terletak sesudah ya’ tashghir. Seperti
kata كُتَيِّبٌ ـ
سُحَيِّبٌ yang merupakan shighat tashghir dari kata كِتَابٌ ـ سَحَابٌ
Huruf
ya’ dapat digunakan sebagai ganti dari wau dalam sepuluh tempat. Yaitu:
1. Apabila terletak diakhir kalimat dan di
depannya terdapat huruf yang berharkat kasrah. Seperti kata رَضِيَ ـ قَوِيَ ـ
السَّامِى asalnya adalah رَضِوَ ـ قَوِوَ
Ketentuan tersebut tidak berubah meskipun
sesudah huruf tersebut diberi tambahan ta’ ta’nits dan alif dan nun yang di
ainnya kasrah. Seperti قَوِيَتْ ـ شَجِيَانٌ asalnya قَوِوَتْ
ـ شَجِوَانٌ
2. Apabila wau merupakan ain dari mashdar dan
huruf tersebut dii’lal (diubah ke dalam huruf lain) sewaktu berbentuk fiil
madli dengan syarat di depannya berharkat kasrah dan di belakangnya terdapat
alif. Seperti kata قِيَامٌ ـ صِيَامٌ asalnya adalah صِوَامٌ ـ قِوَامٌ
Dan apabila salah satu syarat di
atas tidak terpenuhi maka huruf tersebut tidak boleh diganti seperti huruf wau
dalam kata سِوَارٌ dengan alasan bukan
merupakan mashdar serta huruf wau
dalam kata حَاوَرَ ـ
حِوَارًا dengan alasan waunya tidak diganti dengan huruf lain sewaktu
berbentuk fiil madli.
3. Apabila waunya merupakan ain dari jamak
taksir shahihul akhir yang mengikuti wazan فِعَالٌ. dengan syarat
huruf tersebut dii’lal atau disukunkan sewaktu masih berbentuk isim mufrad. Seperti
kata ثِيَابٌ ـ دِيَارٌ
jamak taksir dari kata ثَوْبٌ
ـ دَارٌ
Namun apabila huruf tersebut
merupakan ain dari jamak taksir shahihul akhir yang pada wazan maka huruf tersebut tidak bisa dii’lal (diubah
kedalam huruf lain). Seperti jamak taksir dari kalimat كُوزٌـ
عُودٌ
yaitu كِوَزَةٌ ـ
عِوَدَةُ
Begitu juga ketika huruf waunya tidak
dii’lal atau disukunkan. Seperti jamak taksir dari kata طَوِيلٌ yaitu طِوَالٌ
Namun apabila huruf tersebut
merupakan ain dari jamak taksir yang mengikuti wazan فِعَلٌ maka huruf tersebut lebih banyak dii’lal
daripada ditashih. Contoh:
4. Apabila waunya merupakan huruf terakhir
dalam fiil madly yang terdiri dari empat huruf atau lebih. Contoh: اصْطَفَى
5. Huruf tersebut dibaca sukun, tidak
bertasydid dan di depannya terdapat huruf yang berharkat kasrah. Contoh: مِيْزَانٌ
ـ مِيعَادٌ asalnya مِوْزَنٌ
ـ مِوْعَدٌ
6. Wau merupakan lam dari setiap kalimat
yang mengikuti pola (فُعْلَى) dengan syarat
kata tersebut berupa kata sifat. Contoh: دُنْيَا asalnya دُنْوَى
Namun apabila kata tersebut berupa
isim mahdlah maka huruf tersebut tidak perlu diganti dengan huruf apapun.
Contoh: خُزْوَي
7. Wau berkumpul dengan ya’ dalam satu
kalimat dengan syarat tidak ada sesuatupun yang memisahkan keduanya, sedangkan
huruf pertama diantara kedua huruf tersebut merupakan huruf ashli yang
disukunkan dengan sukun ashli. Contoh: سَيِّدُ ـ طَيٌّ asalnya سَيْوِدٌ ـ طَوْيٌ
Namun apabila huruf pertama
diantara dua huruf tersebut merupakan ganti dari huruf lain maka huruf tersebut
maka huruf tersebut tidak perlu dii’lal. Seperti huruf wau dalam kata رُوْيَةٌ asalnya رُؤْيَةُ
Demikian juga ketika huruf yang
pertama tidak disukunkan atau disukunkan dengan sukun yang tidak ashli.
Seperti: طَوِيلٌ ـ
قَوْيَ
8. wau merupakan lamnya isim maf’ul dari
fiil madly yang ainnya dibaca kasrah (فَعِلَ) seperti isim
maf’ul dari kata رَضِيَ
ـ قَوِيَ yaitu: مَرْضِيٌّ
ـ مَقْوِيٌّ (asalnya
مَرْضُوٌّ ـ
مَقْووٌّ)
Namun apabila ainnya tidak dibaca
kasrah maka waunya lebih baik tidak dii’lal. Seperti isim maf’ul dari kata غَزَا
ـ دَعَا
yaitu: مَغْزُوٌّ ـ
مَدْعُوٌّ
Sedangkan wau harus digunakan
sebagai ganti dari alif apabila terletak sesudah harkat dlammah. Seperti kata شَارَكَ ketika dibina’
majhul yaitu شُورِكَ
Disamping
itu, huruf tersebut juga dapat digunakan sebagi ganti dari ya’. Hal itu bisa
terjadi apabila:
1. Huruf ya’ mati yang terletak sesudah harkat
dlammah selain dalam jamak taksir yang ikut pada wazan (فُعْلٌ). Seperti: مُوْقِنٌ asalnya مُيْقِنٌ[6]
Akan tetapi, jika kasus tersebut
terdapat pada jamak taksir yang ikut pada wazan (فُعْلٌ) maka huruf ya’
tidak perlu diganti dengan wau namun harkat dlammah di depannya diubah menjadi
kasrah. Seperti jamak taksir dari kata أَبْيَضٌ yaitu بِيضٌ asalnya بُيْضٌ
2. Huruf ya’ merupakan lam fiil dan di
depannya terdapat dlammah. Seperti kata نَهَى ـ قَضَى ketika hendak
diubah ke dalam wazan فَعُلَ dengan tujuan
ta’jub. Yaitu: نَهُوَ ـ قَضُوَ
Terkadang huruf tersebut merupakan
lam dari kata yang berakhiran ta’ ta’nits yang tidak bisa dipisahkan dari
sebuah kalimat. seperti kata رَمَى ketika diubah ke
dalam wazan مَقْدُرَةٌ menjadi مَرْمُوَةٌ asalnya مَرْمُيَةٌ
3. Huruf ya’ menjadi lam dari setiap isim
mahdlah yang mengikuti pola فَعْلَى seperti kata تَقْوَي ـ فَتْوَي asalnya تَقْيَا ـ فَتْيَا
Namun apabila kata tersebut
merupakan kata sifat maka huruf tersebut tidak perlu diganti dengan huruf lain
seperti bentuk muannats dari kata خَزْيَانُ ـ صَدْيَانُ yaitu خَزْيَا ـ صَدْيَا
4. Apabila huruf ya’ merupakan ain dari
setiap kata yang mengikuti pola فُعْلَى. Dengan syarat
kata tersebut merupakan isim mahdlah. Contoh: طُوبَى[7] asalnya طُيْبَى
Namun apabila kata tersebut
merupakan kata sifat maka huruf tersebut boleh diganti dengan wau atau
dibiarkan tanpa perubahan dengan syarat huruf di depannya diganti kasrah.
Seperti bentuk muannats dari kata أَكْيَسُ ـ أَضْيَقُ yaitu كُوسَى / كِيسَى – ضُوقَى / ضِيْقَى
Hukum mengganti wau dan ya’ dengan alif
Apabila alif berada
diposisi ain atau lamnya fiil madli maka dapat dipastikan huruf tersebut
merupakan ganti dari wau ataupun ya’. Contoh: صَامَ ـ بَاعَ ـ
سَمَا ـ جَرَي asalnya صَوَمَ ـ بَيَعَ ـ
سَمَوَ ـ جَرَيَ adapun petunjuk
untuk mengetahui asal mula dari huruf tersebut yaitu dengan mengamati mashdar
dari fiil-fiil tersebut. akan tetapi perubahan tersebut tidak akan terwujud
kecuali dengan terkumpulnya sepuluh persyaratan:
1. Kedua huruf illat tersebut berharkat.
Oleh karena itu, apabila kedua huruf tersebut tidak berharkat maka perubahan
tersebut tidak akan terjadi. Seperti: قَوْلٌ
2. Harkat dari kedua huruf tersebut ashli.
Oleh karena itu huruf illat dalam kata تَوَمٌ ـ جَيَلٌ (asalnya تَوْءَمٌ dan جَيْأَلٌ) tidak dapat
diganti karena harkat dari kedua huruf tersebut merupakan harkat yang dipindah
dari hamzah (setelah huruf tersebut dibuang terlebih dahulu).
3. Harkat huruf yang ada di depannya adalah
harkat fathah. oleh sebab itu huruf ilaat dalam kata عِوَضٌ ـ دُوَلٌ tidak mengalami
perubahan apapun.
4. Harkat fathah yang ada di depan kedua
huruf tersebut bertemu dalam satu kalimat.
5. Apabila kedua huruf tersebut merupakan
ain dari suatu kalimat maka huruf yang terletak di belakang huruf tersebut
harus berharkat. dan apabila kedua huruf tersebut merupakan lam dari suatu
kalimat maka huruf sesudahnya harus tidak terdiri dari alif ataupun ya’ yang
bertasydid. Oleh karena huruf illat dalam kata بَيَانٌ ـ طَوِيْلٌ ـ خَوَرْنَقْ tidak dapat dii’lal dengan alasan kalimat sesudahnya mati.
Demikian pula dengan huruf illat yang terdapat
dalam kata عَصَوَانِ ـ عَلَوِيٌّ dengan alasan huruf tersebut berposisi
sebagai lam kalimat dan di belakangnya terdapat alif ataupun ya’ yang
bertasydid.
6. Salah satu diantara kedua huruf tersebut
bukan merupakan ain dari fiil madly atau mashdar yang sifat musyabbahahnya
mengikuti pola أَفْعَلَ oleh karena itu
huruf wau dalam kata-kata berikut tidak mengalami perubahan: عَوِرَ ـ عَوَرٌ ـ
أَعْوَرُ
7. Wau bukan merupakan ain dari fiil madli
yang mengikuti pola إِفْتَعَلَ dan menunjukkan
arti mufaalah. Oleh sebab itu, huruf wau dalam kata اشْتَوَرَ
ـ اجْتَوَرَ tidak dapat diganti. Dan apabila fiil tersebut
tidak menunjukkan arti mufaalah maka huruf tersebut wajib diganti dengan alif.
Seperti: اجْتَازَ- اخْتَانَ
Akan tetapi ketentuan ini hanya
berlaku untuk wau bukan ya’. Oleh sebab itu huruf ya’ tetap bisa diganti alif
meskipun huruf tersebut merupakan ain fill dari setiap kata yang mengikuti pola
إِفْتَعَلَ dan menunjungkkan arti musyarakah. Seperti: اِسْتَافُوا adapun asal dari kata tersebut
adalah اسْتَيَفُوا
8. Huruf yang terletak sesudah wau ataupun
ya’ bukan merupakan huruf yang harus diganti alif. Untuk menghindari
berkumpulnya dua huruf yang mengalami perubahan secara berturut-turut. Dan
apabila sesudah kedua huruf tersebut terdapat huruf yang harus diganti dengan
alif maka cukup mengganti huruf yang terakhir saja. Seperti bentuk mashdar dari
kata جَوِيَ ـ هَوِيَ ـ حَيِيَ yaitu: حَيَا ـ هَوًى ـ
جَوًى adapun asal dari kata-kata tersebut
adalah حَيَوٌ ـ
هَوَيٌ ـ جَوَيٌ
namun dalam sebagian kalimat, yang
mengalami perubahan adalah huruf illat yang pertama bukan yang terakhir.
seperti huruf illat yang terdapat pada kata آيَةٌ dalam satu versi
disebutkan bahwa asal mula dari kata tersebut adalah أَيَيَةٌ dengan dua huruf
ya’ yang berharkat dan di depannya sama-sama terdapat huruf yang berharkat
fathah. namun huruf ya’ yang pertama diganti dengan alif.
9. Salah satu diantara kedua huruf tersebut
bukan merupakan ain dari setiap kata yang berakhiran huruf zaidah yang khusus
masuk pada kalimat isim, seperti alif-nun serta alif maqshurah. Contoh: جَوَلاَنٌ
ـ هَيَمَانُ ـ صَوَرَى ـ حَيَدَى
Hukum mengganti
wau dan nun dengan mim
a. Mim wajib menggantikan wau dalam kata فُو yang tidak
diidhafahkan. Sedangkan asal dari kata tersebut adalah فُوهٌ akan tetapi huruf
terakhirnya dibuang sedangkan huruf waunya diganti dengan mim (فَمٌ). Adapun dalil
yang menunjukkan bahwa mim tersebut merupakan ganti dari wau adalah jamak
taksirnya. Yaitu: أَفْوَاهٌ .
Namun apabila kata tersebut
diidhafahkan pada isim dhahir maupun dlamir maka waunya bisa dipertahankan atau
diganti dengan mim. Contoh: فُوكَ ـ
فَمُكَ
b. Mim dapat menggantikan nun dengan dua
syarat. Yaitu: 1). Huruf nunnya mati 2). Sesudahnya terdapat huruf ba’ baik
terletak dalam satu kalimat ataupun tidak. Contoh: الْعُلُومِ ـ مِنْ
بَعْدِهِ
مَنْبَعُ
Namun perlu diperhatikan bahwa
perubahan tersebut hanya terdapat dalam pengucapannya saja. Sedangkan dalam
penulisan huruf tersebut tetap seperti bentuk aslinya.
Hukum mengganti
wau dan ya’ dengan ta’
Wau dan ya’ harus diganti dengan
ta’ apabila kedua huruf tersebut berposisi sebagai fa’nya kata (افْتِعَالْ) beserta semua musytaqnya (kata jadiannya)
selama kedua huruf tersebut bukan merupakan ganti dari hamzah. Contoh: يَتَّسِرُ ـ يَتَّصِلُ asalnya يَيْتَسِرُ ـ يَوْتَصِلُ
Ketentuan tersebut tidak berubah
meskipun kata tersebut diubah kedalam fiil madly, mashdar, isim fail’ isim
maf’ul, serta fiil amar. Contoh: اتَّصَلَ ـ اتِّصَالٌ ـ مُتَّصِلٌ ـ
اتَّصِلْ
Namun apabila salah satu diantara
kedua huruf tersebut merupakan ganti dari hamzah maka menurut pendapat yang
lebih masyhur huruf tersebut tidak boleh diubah menjadi ta’. Seperti: ايْتَمَنَ
Hukum mengganti huruf ta’ zaidah
dalam kata افْتِعَال
Ta’ zaidah dalam setiap kata yang
mengikuti pola افتعال dan semua
musytaqnya harus diganti dengan tha’ (ط) apabila huruf
tersebut terdapat dalam sebuah kata yang fa’nya terdiri dari salah satu
diantara empat macam huruf ithbaq, yaituص
ـ ض ـ ط ـ ظ . seperti kata صَفَا
ـ ضَرَّـ طَلَعَ ـ ظَلَمَ ketika hendak
diubah ke dalam wazan افتعل maka menjadi اضْطرَّ ـ اصْطَفَى ـ اطَّلَعَ ـ
اظْطَلَمَ asalnya
اضْتَرَّ ـ
اصتَفَى ـ اطْتَلَعَ ـ اظتلم
Setelah mengalami perubahan, huruf
tha’ dalam kata افْتِعَال boleh diarkan
tanpa perubahan seperti contoh di atas, boleh diidghamkan pada huruf ظ yang ada di
depannya. Seperti: اظَّلَمَ , atau bahkan
boleh mengidghamkan huruf di depannya pada huruf tersebut. seperti: اطَّلَمَ
Di samping itu, huruf tersebut juga
harus diganti dengan dal (د)apabila
terdapat dalam setiap kalimat yang fa’nya terdiri dari huruf د
ـ ذ ـ ز
contoh: اِدَّعَى ـ اِذَّخَرَ ـ ازْدَجَرَ asalnya اِدْتَعَى ـ اِذْتَخَرَ ـ ازْتَجَرَ
C. I’lal bi al-Naql
I’lal bi al-naql adalah
perpindahan harkat dari huruf illat kepada huruf mati yang ada di depannya. contoh:
يَخَافُ
ـ يَبِيعُ ـ يَصُوْمُ asalnya يَصْوُمُ ـ يَبْيِعُ ـ يَخْوَفُ
Apabila harkat yang
dipindah pada huruf di depannya sesuai dengan huruf illatnya maka huruf
tersebut tidak perlu diganti huruf lain dan apabila harkat yang dipindah itu
tidak cocok dengan huruf illatnya maka huruf tersebut harus diubah pada huruf
illat lain yang sesuai dengan harkat huruf yang ada di depannya.
Adapun kaidah perpindahan
harkat hanya dikhususkan untuk wau dan ya’ bukan alif. Hal itu karena kedua
huruf tersebut bisa diberi harkat sedangkan alif tidak bisa diberi harkat.
Perpindahan harkat
hanya terjadi dalam empat tempat, sedangkan huruf illat dalam keempat tempat
itu seluruhnya berposisi sebagai ain kalimat dan mempunyai harkat. Adapun
keempat tempat itu adalah:
1. Huruf illatnya merupakan ain dari fiil
dengan syarat huruf di depannya adalah huruf shahih dan sukun, sedangkan lam
fiilnya tidak bertasydid, atau mu’tal akhir, serta tidak termasuk af’al
al-taajjub. Contoh: يَصُولُ ـ يَغِيبُ asalnya يَصْوُلُ ـ يَغْيِبُ
Berdasyarkan
ketentuan di atas, harkat huruf illat dalam kata قَاوَمَ
ـ عَوَّقَ ـ بَيَّنَ tidak dapat dipindah pada huruf yang ada di depannya dengan
alasan huruf di depannya bukan huruf shahih, demikian pula dengan harkat yang
terdapat dalam kata اِبْيَضَّ ـ اسْوَدَّ dengan alasan
lamnya mudlaaf, demikian pula dengan harakah dalam kata أَهْوَي
ـ أَحْيَا
dengan alasan mu’tal akhir, serta harkat huruf illat yang terdapat dalam kata أَضْيَقَ
الثَّوب
مَا dengan alasan termsuk af’al al-taajub.
2. Huruf illatnya merupakan ain dari isim
yang memiliki kesamaan dengan fiil mudlari’ dalam wazannya (jumlah huruf dan
harkatnya) saja, atau huruf tambahannya saja. Dengan syarat di dalam kata
tersebut terdapat sesuatu yang membedakannya dengan fiil mudlari’. Adapun isim
yang memiliki kesamaan dengan fiil mudlari’ dalam wazannya saja adalah kata مَقَامُ adapun
asal dari kedua kata tersebut adalah مَقْوَمٌ
akan tetapi karena kata tersebut memiliki
kesamaan jumlah huruf dan susunan harkat dengan kata [8]يَعْلَمُ maka
harkat huruf wau yang terdapat dalam kata tersebut dipindah pada huruf mati
yang ada di depannya. oleh sebab itu kata tersebut kemudian berubah menjadi مَقَامٌ .
sungguhpun demikian, dalam kata tersebut terdapat huruf zaidah yang menunjukkan
bahwa kata tersebut bukan fiil, yaitu mim yang terletak di awal kata. Adapun
isim-isim yang memiliki kesamaan dengan kata tersebut adalah مُقِيمٌ
ـ مُبِينٌ
Sedangkan
isim yang cuma memiliki kesamaan huruf zaidah dengan fiil mudlari’ yaitu kata بَيْعٌ
ـ قَوْلٌ yang diubah bentuknya ke dalam wazan (تِحْلِئُ) hingga menjadi تِبِيعٌ ـ تِقِيلٌ adapun asal mula dari kata tersebut adalah تِقْوِلٌ
ـ تِبْيِعٌ akan tetapi, kedua kata tersebut mempunyai
huruf zaidah yang sama dengan fiil mudlari’ yaitu huruf ta’ (ت) meskipun wazannya
tidak sama dengan fiil mudlari’ (karena tidak ada satupun diantara fiil
mudlari’ yang huruf pertamanya berharkat kasrah). Oleh sebab itu, harkat huruf
illat yang terdapat dalam kedua kata itu harus dipindah pada huruf mati yang
ada di depannya.
Dengan
demikian, apabila kalimat isim berbeda dengan fiil mudlari dalam wazan dan
huruf zaidahnya sekaligus, atau memiliki kesamaan dalam keduanya maka harkat
huruf illat dalam kata tersebut tidak dapat dipindah pada huruf mati yang ada
di depannya. seperti harkat huruf illat yang terdapat dalam kata مِخْيَاطٌ ـ أَقْوَمٌ
3. Huruf illat tersebut merupakan ain dari
mashdar yang mengikuti pola إِفْعَالٌ ـ إِسْتِفْعَالٌ dengan
syarat huruf tersebut dii’lal sewaktu berbentuk fiil. Seperti: إِقَامَةٌ ـ اسْتِقَامَةٌ
Adapun
asal mula dari kedua kata tersebut adalah إِسْتِقْوَامٌ
ـ إِقْوَامٌ kemudian harkat huruf illat dalam kedua kata
tersebut harus dipindah pada huruf mati yang ada di depannya seperti saat masih
berbentuk fiil. Dan sesudah itu, huruf wau harus diganti dengan alif
berdasarkan aturan di depan. Akan tetapi, hal tersebut mengakibatkan berkumpulnya
dua alif secara berurutan. Oleh sebab itu, alif yang kedua harus dibuang dengan
alasan menghindari terjadinya hal tersebut. dan di akhir kalimat, kedua kata
tersebut diberi tambahan ta’ ta’nits sebagai ganti dari alif yang dibuang. Hingga
kemudian berubah menjadi إِسْتِقَامَةٌ
ـ إِقَامَةٌ
Terkadang
kedua kata tersebut tidak membutuhkan ta’ ketika diidlafahkan. Seperti firman
allah taala: وَإِقَامِ الصَّلاَة
Akan
tetapi, apabila huruf tersebut tidak dii’lal sewaktu masih berbentuk fiil maka
huruf tersebut juga tidak dapat dii’lal ketika berbentuk mashdar. Seperti:
إِسْتَحْوَذَ
ـ إِسْتِحْوَاذًا /أَحْيَا ـ إِحْيَاءٌ
4. Huruf illat merupakan ainnya maf’ul dari
fiil yang mu’tal ain. Seperti: مَبِيعٌ
ـ مَقُولٌ
Adapun
asal mula dari kedua kata tersebut adalah مَقْوُولٌ ـ مَبْيُوعٌ namun harkat huruf
illat yang ada dalam kedua kata tersebut di pindah pada huruf mati yang ada di
depannya. hingga kemudian berubah menjadi مَبُيوعٌ
ـ مَقُوولٌ namun
perubahan tersebut tidak berhenti sampai disitu. Karena sesudah itu masih ada
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kedua kata tersebut yang secara lengkap
dibahas dalam kaidah berikutnya.
D. I’Lal bi al- Hadzfi
I’lal bi al-hadzfi atau
perubahan kata yang berkenaan dengan pembuangan huruf yang bersifat qiyasi
hanya terdapat dalam empat perkara. Yaitu:
1. Hamzah yang terdapat dalam fiil madly
tsulatsi mazid rubai harus dibuang sewaktu diubah ke dalam fiil mudlari’, isim
fail, dan isim maf’ul. Seperti hamzah zaidah dalam kata أَكْرَمَ ketika diubah ke dalam
fiil mudlari’, isim fail, dan isim maf’ul. Yaitu يُكْرِمُ ـ مُكْرِمٌ ـ مُكْرَمٌ
2. Wau yang merupakan fa’ dari fiil madli
yang ainnya difathahkan harus dibuang pada waktu menjadi fiil mudlari’ ,
mashdar serta fiil amar. Seperti: وَعَدَ
ـ يَعِدُ ـ عِدَةُ ـ عِدْ adapun asal dari ketiga kata tersebut ialah اِوْعِدْ ـ وِعْدٌ ـ
يَوْعِدُ
Ketentuan
tersebut masih berlaku meskipun ainnya dikasrahkan dengan syarat ketika
berbentuk fiil mudlari’ ainnya juga dikasrahkan. Contoh: وَرِثَ ـ يَرِثُ
Namun
apabila ainnya difathahkan sewaktu menjadi fiil mudlari’ maka fa’ dari fiil
tersebut terkadang dibuang dan terkadang tidak dibuang. Contoh: وَسِعَ ـ يَسَعُ / وَجِلَ ـ يَوْجَلُ
Akan
tetapi wau yang berposisi sebagai fa’ dari fiil mudlari’ hanya bisa dibuang
apabila huruf mudlaraahnya berharkat fathah sedangkan ainnya berharkat kasrah.
Oleh sebab itu, huruf wau dalam kata يُولَدُ ـ يَوْضُؤُ tidak
dibuang.
3. Apabila terdapat fiil madli tsulatsi
mujarrad yang ainnya berharkat kasrah dan serta memiliki jenis huruf yang
serupa dengan lamnya maka seseorang diperkenankan menggunakan tiga macam
alternative ketika kata tersebut dihubungkan pada dlamir rafa’ mutaharrik
yaitu:
a. Cukup memisahkan dua huruf yang
diidghamkan tersebut tanpa harus membuang salah satu hurufnya. Seperti: ظَلِلْتُ
b. Cukup membuang ainnya saja tanpa harus
melakukan perubahan apapun terhadap huruf yang masih ada. Seperti: ظَلْتُ
c. Membuang ain dan memindahkan harkatnya
pada huruf yang ada di depannya. seperti: ظِلْتُ
Namun
apabila fiil mudlaaf yang ainnya berharkat kasrah itu berupa fiil mudlari’
ataupun fiil amar yang bersambung dengan nun niswah maka ia diperbolehkan
memisah dua huruf yang diidghamkan itu tanpa harus membuang salah satu hurufnya
atau membuang ain dan memindahkan harkatnya pada huruf yang ada di depannya.
Contoh:
النِّسْوَةُ
يَقْرِرْنَ أَويَقِرْنَ ـ
اقْرِرْنَ يَانِسْوَةٌ أَو قِرْنَ
4. Apabila huruf illatnya merupakan ain
dari isim maf’ul maka selain harus memindah harkat ain pada huruf mati di depannya
wau zaidah yang ada di dalamnya juga harus dibuang jika ainnya berupa wau, atau
membuang wau zaidah dan mengkasrahkan huruf yang ada di depannya jika ainnya
berupa huruf ya’. Seperti isim maf’ul dari kata قَالَ ـ بَاعَ yaitu مَقُولٌ ـ مَبِيْعٌ
Adapun asal dari kata مَقُولٌ adalah مَقْوُولٌ tetapi
kemudian harkat dlammah yang terdapat pada huruf wau dipindah pada huruf mati
yang ada di depannya. namun hal ini justru mengakibatkan berkumpulnya dua huruf
yang berharkat sukun secara berurutan. Oleh karena itu, menurut pendapat yang
lebih kuat wau zaidahnya harus dibuang. Maka sesudah itu, isim mafulnya berubah
bentuk menjadi مَقُولٌ
Sedangkan
asal dari kata مَبِيْعٌ adalah مَبْيُوعٌ akan tetapi
berdasarkan kaidah sebelumnya harkat dlammah yang terdapat pada huruf ya’ harus
dipindah kepada huruf yang ada di depannya. akan tetapi, hal tersebut justru
mengakibatkan berkumpul dua huruf mati secara berurutan. Oleh karena itu, salah
satu diantara kedua huruf tersebut harus ada yang dibuang, dan menurut pendapat
yang lebih kuat huruf yang harus dibuang adalah wau zaidah. Maka isim maf’ulnya
berubah menjadi مَبُيْعٌ namun
harkat dlammah dalam kata tersebut diubah menjadi kasrah agar huruf ya’ di dalamnya
terhindar dari perubahan[9].
Dan sesudah itu, isim maf’ulnya berubah menjadi مَبِيْعٌ
namun
dalam dialek bani tamim terdapat beberapa isim maf’ul yang tidak dii’lal
meskipun ainnya terdiri dari huruf ya’. Contoh: مَبْيُوعٌ ـ مَخْيُوطٌ
[1] Kata (قُرْئِي) asalnya adalah (قُرْؤُيٌ)
kemudian harkat dhammah sebelum ya’ di ubah menjadi kasrah kemudian harkat dari huruf terakhir harus dibuang pada waktu
rafa’ dan jir karena dianggap sulit sama seperti isim manqush
[3] Tempat gembala
[7] Nama surga atau nama
pohon yang ada di dalamnya.
[8] sama-sama
berjumlah empat huruf serta sama-sama diawali dengan harkat fathah, kemudian
sukun, kemudian fathah
[9] Pada dasarnya ya mati yang
terletak sesudah harkat dlammah harus digantikan dengan wau akan tetapi
ketentuan ini tidak digunakan dalam kata tersebut untuk memperlihatkan
perbedaan antara fiil yang yang ajwaf wawiy dan yai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar