HURUF JIR dan ketentuan penggunaannya
Oleh: Taqi Muhammadi
Oleh: Taqi Muhammadi
A. Pengelompokan huruf-huruf jir
Menurut ibnu malik dalam kitab alfiyah huruf jir ada
dua puluh, yaitu:
مِنْ
– إِلَى
ـ عَنْ
ـ عَلَى
ـ فِى
ـ رُبَّ ـ كَافْ
- لاَمْ
ـ بَاء
ـ وَاو ـ تَاءْ
ـ مُذْ
ـ مُنْذُ
ـ حَتّى
ـ خَلاَ
ـ عَدَا
ـ حَاشَا
ـ كَيْ
ـ مَتَى
ـ لَعَلَّ
Namun dalam
kitab lain ia berpendapat bahwa kata (لَوْلاَ) juga termasuk di
dalamnya. Hanya saja huruf tersebut tidak dapat mengamal jir kecuali bersambung
dengan isim dhamir. Berbeda dengan ibnu malik, al-Ahfasy berpendapat bahwa
huruf tersebut sama sekali tidak bisa mengamal, baik ketika bersambung dengan
isim dhahir ataupun dlamir. Contoh:
لَوْلاَكَ
لَأَتَيْتُ الْمَدْرَسَةَ ـ لَوْلاَ سَعِيدٌ لَأَتَيْتُ الْمَدْرَسَةَ
Ditinjau dari isim yang terletak di
belakangnya, huruf jir secara garis besar terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Huruf jir yang khusus masuk pada isim
dhahir. Seperti:لَعَلَّ
2. Huruf jir yang bisa masuk pada isim
dhahir dan dlamir sekaligus. Seperti: مِنْ
Namun jika ditinjau dari segi asli
tidaknya, maka huruf tersebut terbagi tiga, yaitu:
1. Huruf
ashli: yaitu huruf jir yang mempunyai arti khusus dalam struktur kalimat
dan berfungsi untuk menghubungkan amil dan isim yang ada di belakangnya.
Seperti huruf مِنْ dalam susunan kata حَضَرَالْمُسَافِرُمِنَ
الْقَرْيَةِ
dengan alasan apabila huruf jirnya dibuang maka
artinya tidak jelas apakah ia datang dari desa atau ke desa.
2. Huruf
zaidah: yaitu huruf jir yang tidak mempunyai arti khusus dalam struktur kalimat serta tidak berfungsi
untuk menghubungkan amil dan isim yang ada di belakangnya. Seperti huruf مِنْ dalam susunan
kalimat لَيْسَ مِنْ خَالِقٍ إِلاَّاللَّهَ dengan alasan struktur kalimat ini tidak
akan mengalami perubahan arti meskipun huruf jir di dalamnya dibuang. Sedangkan
kata خَالِقٍ dibaca jir karena dimasuki مِنْ zaidah namun
menempati posisi rafa’ (mahal rafa’) karena menjabat sebagai isimnya لَيْسَ
3. Huruf syabihun bi al-zaid: yaitu huruf
jir yng mempunyai arti khusus dalam struktur kalimat namun tidak digunakan
untuk menghubungkan amil dan isim yang ada di belakangnya. Seperti huruf jir
dalam susunan kata رُبَّ سَائِحٍ
لَقِيتُهُ مُسْلِمٌ
B. Makna-makna dalam huruf jir
Adapun arti serta ketentuan dari kata حَشَا-عَدَا-خَلاَ tidak perlu
diuraikan kembali karena hal tersebut telah disinggung dalam pembahasan
sebelumnya. Sedangkan arti dan ketentuan dari huruf-huruf yang lainnya adalah
sebagai berikut:
1. كَيْ : adalah huruf jir yang
digunakan untuk menerangkan bahwa kalimat sesudahnya merupakan tujuan dari
apapun yang ada di depannya (li al-ta’lil). Akan tetapi, huruf tersebut
tidak dapat mengamal jir kecuali dalam tiga perkara:
a. (مَا) istifhamiyah yang
digunakan untuk menanyakan sebab dan tujuan. Contoh: كَيْمَهْ
b. Mashdar muawwal dari (مَا) mashdariyah dan
shilahnya. Contoh: كَيْ مَا تَطْمَئِنُّ
قَلْبِى
تَنَزَّهْتُ
(aku berekreasi supaya hatiku tenang)
c. Mashdar muawwal dari (أَنْ) mashdariyah dan
shilahnya. Contoh: كَيْ تَنْجَحَ إِجْتَهِدْ (bersungguh-sungguhlah dirimu supaya kamu
berhasil)
2. مَتَى : adalah huruf jir asli yang digunakan untuk
menerangkan tempat atau waktu bermulanya suatu peristiwa (ibtida’ al-ghayah).
Akan tetapi huruf tersebut hanya digunakan sebagai huruf jir oleh kabilah bani
hudzail. Contoh: قَرَأْتُ
الْكِتَابَ مَتَى الصَّفْحَةِ الْأُولَى (saya membaca buku mulai halaman pertama).
3. لَعَلَّ : di kalangan bani
uqail, huruf tersebut dianggap sebagai huruf jir syabihun bi al-zaid yang
digunakan untuk menerangkan harapan terwujudnya sesuatu yang disebut sesudahnya
(li al-tarajji wa al-tawaqqu’). Contoh: لَعَلَّ
اللَّهِ فَضَّلَكُمْ
Akan
tetapi masyarakat arab pada umumnya lebih sering menggunakan huruf tersebut
sebagai salah satu saudaranya إِنَّ
4. وَاوٌ : huruf tersebut
termasuk huruf jir asli yang digunakan sebagai huruf qasam (sumpah). Dan huruf
tersebut tidak dapat mengamal jir kecuali pada isim dhahir. Contoh: وَالضُّحَى
وَاللَّيْلِ إِذَاسَجَى
5. تَاءٌ : huruf tersebut
termasuk huruf jir asli yang digunakan sebagai huruf qasam sekaligus ta’ajjub.
Akan tetapi huruf tersebut hanya dapat diikuti oleh kata (رَبٌّ
ـ اللَّه ـ رَحْمَنْ). Contoh: تَاللَّهِ
لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ (demi allah! )
6
مِنْ : huruf
tersebut pada umumnya merupakan huruf jir ashli yang digunakan untuk
bermacam-macam tujuan, yaitu:
a . li
tab'idh :
menerangkan bahwa kalimat yang terletak sebelum huruf itu adalah bagian dari kalimat sesudahnya. Contoh: وَمِنْهُمْ مَنْ
يَسْتَمِعُونَ إِلَيْكَ
(di
antara mereka ada orang yang mendengarkan dirimu)
b li
bayanil jinsi : menerangkan bahwa kalimat sesudahnya merupakan salah
satu macam dari berbagai macam jenis kalimat sebelumnya. Contoh: هَذَا ثَوْبٌ
مِنْ حَرِيْرٍ (ini
adalah baju yang terbuat dari sutra)
kata baju adalah kalimat umum
yang terdiri dari beberapa bahan jenis, baik sutra atau bukan.sedangkan baju sutra adalah salah satu jenis
di antara berbagai jenis bahan baju
c. ibtida' al-ghayah :
menerangkan permulaan tempat dan waktu berlangsungnya peristiwa.
Contoh:
سُبْحَانَ
الَّذِي أًسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ
الأَقْصَى
d. zaidah :
huruf yang tidak memberi keterangan tambahan apapun kecuali sebagai penguat pembicaraan. Contoh: مَاجَأَنِى مِنْ رَجُلٍ (tiada seorangpun yang datang padaku)
huruf مِنْ dalam susunan kalimat di atas dianggap zaidah karena jika
huruf tersebut dibuang susunan kalimat tersebut tidak akan mengalami
perubahan arti yang cukup signifikan [1].
contoh: مَاجَأَنِى رَجُلٌ
menurut mayoritas aliran bashrah مِنْ zaidah hanya dapat digunakan
dalam struktur kalimat apabila memenuhi dua syarat, yaitu: a). didahului
oleh nafi dan syibh al-nafi( istifham dan nahi) b).
majrurnya adalah isim nakirah.
akan tetapi imam al-ahfasy dan para penganut aliran
kufah tidak mensyaratkan hal
tersebut asalkan majrurnya adalah isim nakirah.
e badal : digunakan
untuk memilih dan mengutamakan salah satu diantara dua perkara tanpa proses tukar-menukar.
Contoh: لَجَعَلْنَا
مِنْكُمْ مَلاَئِكَةُ فِى الأَرْضِ يَخْلُفُونَ لَوْنَشَاءُ
(kalau kami menghendaki kami jadikan malaikat sebagai ganti dari
kalian untuk menjadi khalifah di muka bumi).
f. ta'lil :
digunakan untuk menerangkan sebab dan tujuan dalam terwujudnya sesuatu yang
lain. contoh: مِمَّاخَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا (mereka
ditenggelamkan hanya sebab kesalahan yang mereka perbuat)
إِلَى : huruf tersebut termasuk huruf asli yang
digunakan untuk menerangkan waktu dan tempat berakhirnya sesuatu (intiha’
al-ghayah). Contoh: سِرْتُ
مِنْ بِيْرُوتَ إِلَى دَمْشِقَ (aku berjalan dari Beirut sampai damsyiq)
Pada
umumnya, isim yang terletak di belakang kata
tidak masuk pada hukum yang ada di depannya kecuali jika ditemukan
adanya indikasi yang menyatakan sebaliknya. Oleh sebab itu, apabila seseorang
menyatakan أَكَلْتُ السَّمَكَةَ إِلَى
رَأْسِهَا (saya
memakan ikan sampai kepalanya) maka ia sebetulnya menyampaikan bahwa bagian
kepala ikan itu tidak ikut dimakan, karena bagian kepala tidak masuk pada hukum
yang ada di depannya.
8. حَتَّى : huruf tersebut
merupakan huruf ashli yang digunakan untuk menerangkan waktu dan tempat
berakhirnya sesuatu (intiha’ al-ghayah). Akan tetapi, huruf tersebut
hanya dapat dihubungkan pada isim dhahir baik isim sharih atau mashdar muawwal.
Contoh: بَذَلْتُ مَالِى فِى سَبِيلِ
اللَّهِ حَتَّى أَخِرِدِرْهَمٍ عِنْدِي
Isim
yang terletak sesudah kata pada umumnya
masuk pada hukum yang ada di depannya. Oleh sebab itu, apabila seseorang
mengucapkan kata السَّمَكَةَ حَتَّى
رَأْسِهَا
أَكَلْتُ maka
ia sebetulnya hendak menyampaikan bahwa bagian kepala ikan itu juga dimakan,
karena bagian kepala dianggap masuk pada hukum yang ada di depannya.
9. لاَمْ : huruf tersebut pada
umumnya merupakan huruf asli dan memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Li al-milk:
huruf tersebut berada diantara dua isim ain (benda konkret) dan menerangkan
bahwa isim yang terletak di belakangnya merupakan pemilik atas isim yang ada di
depannya. Contoh: الْمَنْزِلُ
لِسَعِيدٍ (rumah
itu kepunyaan said)
b. Syibh al-milk:
huruf tersebut menerangkan bahwa isim yang terletak di depan huruf itu
diperuntukkan bagi isim yang ada dibelakangnya. Contoh: لِخَزَانَتِى الْمِفْتَاحُ (kunci itu untuk
lemariku), الْحَمْدُ
لِلَّهِ (segala
puji untuk allah).
Dikalangan
ahli nahwu huruf tersebut dikenal sebagai lam ikhtishash wa al-
istihqaq.
c. Intiha’ al-ghayah: huruf tersebut memiliki arti seperti إِلَى dan menerangkan
bahwa peristiwa di depannya berhenti dan berakhir sebab sudah sampai pada
majrurnya. Contoh:
كلٌّ يجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمَّي
d. Ta’lil wa al-shairurah:
huruf tersebut menerangkan bahwa kalimat sesudahnya merupakan sebab atau tujuan
dari kalimat di depannya. Contoh: سَأَتَعَلَّمُ
لِلْحَيَاةِ السَّعِيدَةِ (saya belajar agar
saya hidup bahagia)
e. Ta’diyah : huruf tersebut digunakan untuk
mengubah fiil lazim menjadi fiil muta’addi.
Contoh:
f. Zaidah li al-taukid
: sama seperti huruf zaidah pada umumnya, huruf tersebut hanya digunakan
sebagai penguat kalam. Dan biasanya huruf tersebut ada diantara fiil dan
maf’ulnya. Seperti dalam lirik syair berikut:
مَلَكْتَ مَابَيْنَ
الْعِرَاقِ وَيَثْرِبَ # مَلِكًاأًجَارَلِمُسْلِمٍ وَمُعَاهِدٍ
g. Taqwiyah:
menurut mayoritas ahli nahwu huruf tersebut tergolong sebagai huruf zaidah
dengan alasan isim yang terletak sesudah huruf itu lafadznya jir namun mahalnya
nashab.
Sungguhpun demikian, huruf tersebut
tidak hanya digunakan sebagai penguat kalam saja namun juga digunakan untuk
menguatkan amil yang lemah. Hal itu terjadi apabila amilnya berbentuk isim fail
atau shighat amtsilat al-mubalaghah, atau terletak di belakang maf’ulnya.
Contoh: مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ
ـ إِنْ كُنْتُمْ لِلرُّؤْيَاتَعْبُرُونَ
10. فِى : adapun tujuan
penggunaan huruf tersebut adalah:
a. Dzarfiyah:
الْقَهْوَةُ فِى الْفُنْجَانِ (kopi itu di dalam cangkir)
b. Sababiyah
: menerangkan bahkan isim yang berada di belakangnya merupakan alasan timbulnya
suatu peristiwa. Contoh: امْرَأَةٌ
النَّارَفِى هِرَّةٍ حَبَسَتْهَادَخَلَتِ (seorang perempuan dimasukkan ke dalam neraka karena kucing
yang ia kurung)
11. بَاءٌ : adapun tujuan penggunaan
huruf tersebut adalah:
a. Ilshaq: menerangkan bahwa isim sesudahnya merupakan
sesuatu yang melekat dengan banda yang ada di depannya. tujuan tersebut
merupakan tujuan dasar dari kata tersebut. bahkan imam sibawaih menganggap
tujuan ilshaq sebagai satu-satunya tujuan penggunaan huruf tersebut. contoh: بَاللِّصِّ أَمْسَكْتُ
Adapun arti dari susunan kata di
atas yaitu saya memegang tubuh atau sesuatu yang melekat di tubuhnya seperti
baju dan lain-lain.
b. Dzarfiyah: `لَقَدْ
نَصَرَكُمُ اللّهُ بِبَدَرٍ (allah telah membri kemenangan pada kalian di peperangan
badar)
c. Sababiyah:
menerangkan bahwa kalimat kesudahnya merupakan sebab dan tujuan dari sesuatu
sebelumnya. Contoh: فَأَخَذَهُمُ اللَّهُ
بِذُنُوبِهِمْ
(maka allah membinasakan mereka sebab dosa-dosa yang mereka perbuat)
d. Istianah:
menerangkan bahwa kalimat sesudahnya merupakan alat untuk mengerjakan perbuatan
di depannya. Contoh: كَتَبْتُ بِالْقَلَمِ (aku menulis dengan pulpen)
e. Ta’diyah: ذَهَبْتُ
بِالْمَرِيْضِ إِلَى الطَّبِيبِ (saya membawa pergi orang sakit pada dokter).
f. Badal
: huruf tersebut digunakan untuk memilih
dan mengutamakan salah satu diantara dua perkara. Dan pada umumnya isim yang
terletak sesudah huruf itu merupakan sesuatu yang tidak dipilih. Contoh: الَّذِينَ اشْتَرَوُاالضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى أُولَئِكَ (mereka itu adalah orang-orang yang lebih
senang membeli jalan kesesatan dibanding membeli jalan petunjuk)
g. Iwadl
: adalah menyerahkan sesuatu sebagai ganti dari sesuatu yang ia ambil. Contoh: الْكِتَابَ بِعَشْرَةِ دَرَاهِمَ إِشْتَرَيْتُ (saya membeli buku dengan harga sepuluh
dirham)
h. Qasam
: huruf tersebut merupakan huruf qasam
yang asli. Berbeda dengan huruf qasam yang lain, huruf tersebut dapat
dihubungkan pada isim dzahir maupun dhamir bariz. Contoh: بِكَ
لَأُعَاوِنَنَّ الضَّعِيفَ ـ بِاللَّهِ لَأُعَاوِنَنَّ الضّعِيفَ
i. Zaidah
li al-taukid : pada umumya penggunaan huruf
tersebut tidak ada yang bersifat qiyasi kecuali jika huruf tersebut terdapat
pada kalimat berikut:
1.
Khabar
dari kata (لَيْسَ) dan (مَا) nafiyah أَلَيْسَ
اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
2.
Fail
dari kata (كَفَى): وَكَفَى بِاللَّهِ
شَهِيدًا
3.
Maf’ul
dari kata (أَحْسَّ), (سَمِعَ), dan (عَرَفَ):
4. Tab’idl (مِن) :
عَيْنًا
يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُونَ ()
5. Mujawazah
(عَنْ): سَأَلَ
سَائِلٌ بِعَذَابٍ ()
6. Mushahabah (مَعَ):
12. عَنْ : adapun tujuan penggunaan huruf tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Mujawazah:
menjauhnya sesuatu dari isim yang berada di belakang huruf tersebut karena perbuatan yang ada di depannya. Contoh: رَمَيْتُ
السَّهْمِ عَنِ الْقَوْسِ (saya melempar panah dari busur)
Adapun maksud dari susunan kata di
atas adalah menjauhnya anak panah dari busurnya sebab dilempar.
b. memiliki arti seperti kata (بَعْدُ): لَتَرْكَبُنَّ
طَبَقًاعَنْ طَبَقٍ ()
c. memiliki arti seperti kata (عَلَى): مَنْ
يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ ()
13. عَلَى : adapun tujuan penggunaan huruf tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Isti’la’:
menerangkan bahwa kalimat yang berada di atas majrurnya adalah kalimat
sebelumnya. Contoh: وَعَلَيْهَاوَعَلَى
الْفُلْكِ تُحْمَلُونَ ()
b. Dzarfiyah:
memiliki arti seperti kata (فِى). Contoh: وَدَخَلَ
الْمَدِينَةِ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا ()
c. Mujawazah
: memiliki arti seperti kata (عَنْ). Contoh: إِذَارَضِيَ
عَلَيَّ بَنُوقُشَيْرٍ ()
d. Ta’lil
: الْمُحْسِنَ
عَلَى إِحْسَانِهِأَشْكُرُ (aku berterimakasih pada orang orang yang berbuat baik
karena kebaikannya)
14. كَافٌ : huruf tersebut
merupakan huruf yang hanya dapat dihubungkan pada isim dhahir. Adapun tujuan
penggunaan huruf tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tasybih:
menerangkan bahwa kalimat di depannya memiliki kesamaan dengan kalimat
sesudahnya. Dan tujuan ini merupakan tujuan dasar dari penggunaan huruf
tersebut. Contoh: الْأَرْضُ
كُرَّةٌ كَالْكَوَاكِبِ الْلأُخْرَي (bumi itu bulat seperti planet-planet yang lain)
b. Ta’lil :
menerangkan bahwa kalimat sesudahnya merupakan sebab dan tujuan dari pekerjaan
di depannya. Contoh: كَمَاهَدَاكُمْ وَاذْكُرُوهُ (ingatlah
kalian kepadanya karena dialah yang memberi petunjuk pada kalian)
c. Zaidah li al-taukid
: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ (tidak ada seorangpun yang serupa dengan
dzat-nya)
15. رُبَّ : huruf tersebut dapat
digunakan untuk menerangkan arti banyak (taktsir) atau sedikit (taqlil)
tergantung konteks pembicaraannya, serta hanya dapat mengamal pada isim nakirah
yang disifati dengan sifat mufrad, jumlah, ataupun syibhul jumlah (nakirah
maushufah). Contoh:
صَدِيقٍ
فِى الشِّدَّةِ عَرَفْتُهُ ـ رُبَّ مَلُومٍ لاَذَنْبَ لَهُ عَرَفْتُهُ ـ رُبَّ
صَدِيقٍ لاَزَمَكَ عَرَفْتُهُ ـ رُبَّ صَدِيقٍ خَائِنٍ عَرَفْتُهُ رُبَّ
Namun
terkadang huruf tersebut bisa mengamal pada dhamir ghaib yang memilki tamyiz
berupa isim nakirah dengan syarat dhamirnya harus berbentuk mufrad mudzakkar
ghaib sedangkan tamyiznya harus disesuaikan dengan maknanya. Contoh:
رُبَّهُ رَجُلاً
لَقِيْتُهُ ـ
رُبَّهُ فَتَاةً لَقْيْتُهَا ــ
رُبَّهُ رَجُلَيْنِ لَقِيْتُهُمَا ــ
رُبَّهُ رِجَالاًلَقِيْتُهُمْ
16. مُذْ
ـ مُنْذُ : huruf tersebut hanya
dapat dianggap sebagai huruf jir apabila majrurnya berupa kata keterangan waktu
yang mutasharrif , tidak mubham, serta
tidak menunjukkan masa yang akan datang. Sedangkan fiil di depannya
harus berupa fiil madli yang manfi atau berlangsung lama. oleh sebab itu
seseorang tidak dibenarkan mengucapkan kata الْغَدِ
ـ مُنْذُزَمَنٍ ـ
مُنْذُسَحَرَـ
مُنْذُ الْبَيْتِ ـ
مُنْذُهُ
مُنْذُ
Apabila
kalimat sesudahnya berbentuk makrifat dan menunjukkan waktu lampau maka kedua
huruf tersebut memiliki makna ibtida’ al-ghayah. الْقُرْأَنَ مُنْذُ يَوْمِ
الْجُمْعَةِ
مَاقَرَأْتُ (saya tidak membaca qur’an sejak hari jum’at).
Arti
huruf tersebut dalam susunan kata di atas sama dengan arti huruf (مِنْ) dalam susunan
kata الْقُرْأَنَ مِنْ يَوْمِ الْجُمْعَةِ مَاقَرَأْتُ
Dan
apabila kalimat sesudahnya berbentuk makrifat dan menunjukkan waktu saat ini
maka kedua huruf tersebut memiliki arti dharfiyah (فِى). قَرَأْتُهُ
مُنْذُ الْيَوْمِ مَا (saya tidak membaca qur’an sejak hari ini).
Dan
apabila kalimat sesudahnya berbentuk nakirah ma’dudah maka kedua huruf tersebut
memiliki arti ibtida’ wa al-intiha’. Contoh: مَاأَكَلْتُ
شَيْئًا مُنْذُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ (saya tidak makan apapun selama tiga hari)
Di
samping sebagai huruf jir, kata tersebut juga dapat dianggap sebagai kalimat
isim. Sedangkan kalimat sesudahnya harus dibaca rafa’ karena menjabat sebagai
khabarnya. Contoh: الْقُرْأَنَ مُنْذُ
يَوْمُ الْجُمْعَةِ مَاقَرَأْتُ - قَرَأْتُهُ مُنْذُ
الْيَوْمُ
مَا - مَاأَكَلْتُ شَيْئًا
مُنْذُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ
Apabila
kalimat sesudahnya menunjukkan waktu sekarang maka kedua kata tersebut lebih
baik dianggap sebagai huruf jir sedangkan isim yang terletak sesudah kedua
huruf tersebut menjabat sebagai majrurnya.
Namun
apabila kalimat sesudahnya menunjukkan arti lampau maka kata (مُنْذُ) lebih baik
dianggap sebagai huruf jir sedangkan kata (مُذْ) lebih baik
dianggap sebagai isim. Contoh: مَاذَهَبتُ
إِلَى الْمَدْرَسَةِ مُذْ يَوْمَانِ
ـ مَاذَهَبْتُ مُنْذُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
C. Beberapa ketentuan seputar huruf jir
Di samping
sebagai huruf jir, (كَافْ) juga dapat
dianggap sebagai isim seperti kata (مِثْلٌ). Oleh karena itu,
semua ketentuan yang terdapat dalam setiap isim mabni juga terdapat dalam
kalimat tersebut. contoh: مَاعَاتَبَ
الْحُرَّالْكَرِيْمَ كَنَفْسِهِ (orang seperti dirinya tidak pernah menghina orang merdeka
yang berhati mulia)
Lafadh (كَافْ) dalam contoh di
atas merupakan isim karena kalau kalimat tersebut dianggap huruf maka susunan
kalimat di atas tidak akan memiliki fail. Sedangkan isim yang terletak sesudah
kata tersebut menjabat sebagai mudhaf ilaihnya.
Sedangkan lafadz
(عَنْ) dan (عَلَى) juga dapat
digunakan sebagai isim apabila didahului oleh huruf (مِنْ). Contoh:
1. تَمُرُّمِنْ
عَلَى بَلَدِنَاالطَّائِرَاتُ (banyak pesawat melintas di atas negeri kita)
2. مِنْ عَنْ يَسَارِكَ سَعِيدٌ (di sisi kirimu
ada said)
Adapun arti dari
(عَنْ) ketika digunakan sebagai isim sama dengan kata (جَانِبَ) sedangkan arti
dari (عَلَى) ketika digunakan sebagai isim sama dengan kata (فَوْقَ). Sedangkan isim
yang terletak sesudah kedua kata tersebut dibaca jir karena menjabat sebagai
mudhaf ilaih.
Apabila (مَا) zaidah
ditambahkan sesudah kata (مِنْ), (عَنْ), (بَاء) maka huruf-huruf
tersebut tetap mengamal seperti saat tidak mendapat tambahan apapun. Contoh: فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ
Namun apabila
huruf tersebut ditambahkan pada kata (كَافْ), dan (رُبَّ) maka biasanya
kedua huruf tersebut tidak dapat mengamal pada kalimat lain serta dapat
dihubungkan dengan jumlah fi’liyah dan ismiyah. Contoh: زُرْتُكَ رُبَّمَا
D. Hukum membuang huruf jir tanpa
menghilangkan kemampuan mengamalnya
Adapun hukum
membuang huruf jir dan membiarkannya tetap mengamal seperti saat belum dibuang
pada umumnya harus didasarkan atas apa yang didengar dari orang arab (simai)
kecuali dalam beberapa tempat, diantaranya:
1. Apabila huruf jirnya adalah (رُبَّ) yang didahului
oleh huruf (وَاو), (فَاء), dan (بَلْ). Contoh: وَلَيْلٍ
كَمَوْجٍ أَرْخَى سُدُولَهُ
Adapun asal mula susunan kalimat
tersebut sebelum huruf jir di dalamnya dibuang adalah وَرُبَّ
لَيْلٍ كَمَوْجٍ أَرْخَى سُدُولَهُ
2. Apabila majrurnya berupa mashdar yang
merupakan ta’wil dari kata (أَنْ) mashdariyah dan jumlah fi’liyah sesudahnya,
atau berupa mashdar yang merupakan ta’wil dari kata (أَنَّ) dan kedua
ma’mulnya. Contoh: أَفْرَحُ أَنَّ
الصَّانِعَ بَارِعٌ ـ أَفْرَحُ أَنْ يَبْرَعَ الصَّانِعُ
Adapun asal mula susunan kalimat
tersebut yang sesungguhnya sebelum huruf jir di dalamnya dibuang adalah بِأَنَّ الصَّانِعَ بَارِعٌ ـ بِأَنْ يَبْرَعَ
الصَّانِعُأَفْرَحُ
3. Apabila majrurnya menyandang jabatan
sebagai tamyiz dari (كَمْ) istifhamiyah
dengan ketentuan kalimat tanya di dalamnya dijirkan oleh huruf jir lain di
depannya. Contoh: بِكَمْ دِرْهَمٍ
اشْتَرَيْتَ الْكُتُبَ (berapa dirham kamu membeli buku)
Adapun asal mula yang sesungguhnya
dari kalimat tersebut sebelum huruf jir di dalamnya dibuang adalah بِكَمْ
مِنْ دِرْهَمٍ اشْتَرَيْتَ الْكُتُبَ
4. Apabila huruf jir dan majrurnya berada
tepat setelah huruf athaf. dengan syarat huruf tersebut sama dengan huruf jir
milik ma’thuf alaihnya. Contoh: لِخَالِدٍ
دَارٌوَسَعِيدٍ بُسْتَانٌ
Adapun asal mula
kalimat tersebut sebelum huruf jirnya dibuang adalah بُسْتَانٌ
وَلِسَعِيْدٍ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar