Senin, 10 Juli 2017

HURUF JIR dan ketentuan penggunaannya

Oleh: Taqi Muhammadi

A.    Pengelompokan huruf-huruf jir
Menurut ibnu malik dalam kitab alfiyah huruf jir ada dua puluh, yaitu:
مِنْإِلَى ـ عَنْ ـ عَلَى ـ فِى ـ رُبَّ ـ كَافْ - لاَمْ ـ بَاء ـ وَاو ـ تَاءْ ـ مُذْ ـ مُنْذُ ـ حَتّى ـ خَلاَ ـ عَدَا ـ حَاشَا ـ كَيْ ـ مَتَى ـ لَعَلَّ
Namun dalam kitab lain ia berpendapat bahwa kata (لَوْلاَ) juga termasuk di dalamnya. Hanya saja huruf tersebut tidak dapat mengamal jir kecuali bersambung dengan isim dhamir. Berbeda dengan ibnu malik, al-Ahfasy berpendapat bahwa huruf tersebut sama sekali tidak bisa mengamal, baik ketika bersambung dengan isim dhahir ataupun dlamir. Contoh:
لَوْلاَكَ لَأَتَيْتُ الْمَدْرَسَةَ ـ لَوْلاَ سَعِيدٌ لَأَتَيْتُ الْمَدْرَسَةَ  
Ditinjau dari isim yang terletak di belakangnya, huruf jir secara garis besar terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1.      Huruf jir yang khusus masuk pada isim dhahir. Seperti:لَعَلَّ
2.      Huruf jir yang bisa masuk pada isim dhahir dan dlamir sekaligus. Seperti: مِنْ
Namun jika ditinjau dari segi asli tidaknya, maka huruf tersebut terbagi tiga, yaitu:
1.      Huruf  ashli: yaitu huruf jir yang mempunyai arti khusus dalam struktur kalimat dan berfungsi untuk menghubungkan amil dan isim yang ada di belakangnya. Seperti huruf مِنْ  dalam susunan kata حَضَرَالْمُسَافِرُمِنَ الْقَرْيَةِ dengan alasan apabila huruf jirnya dibuang maka artinya tidak jelas apakah ia datang dari desa atau ke desa.
2.      Huruf  zaidah: yaitu huruf jir yang tidak mempunyai arti khusus  dalam struktur kalimat serta tidak berfungsi untuk menghubungkan amil dan isim yang ada di belakangnya. Seperti huruf مِنْ dalam susunan kalimat لَيْسَ مِنْ خَالِقٍ إِلاَّاللَّهَ   dengan alasan struktur kalimat ini tidak akan mengalami perubahan arti meskipun huruf jir di dalamnya dibuang. Sedangkan kata خَالِقٍ dibaca jir karena dimasuki مِنْ zaidah namun menempati posisi rafa’ (mahal rafa’) karena menjabat sebagai isimnya لَيْسَ
3.      Huruf syabihun bi al-zaid: yaitu huruf jir yng mempunyai arti khusus dalam struktur kalimat namun tidak digunakan untuk menghubungkan amil dan isim yang ada di belakangnya. Seperti huruf jir dalam susunan kata رُبَّ سَائِحٍ لَقِيتُهُ مُسْلِمٌ 

B.     Makna-makna dalam huruf jir
Adapun arti serta ketentuan dari kata حَشَا-عَدَا-خَلاَ tidak perlu diuraikan kembali karena hal tersebut telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya. Sedangkan arti dan ketentuan dari huruf-huruf yang lainnya adalah sebagai berikut: 
1.      كَيْ  : adalah huruf jir yang digunakan untuk menerangkan bahwa kalimat sesudahnya merupakan tujuan dari apapun yang ada di depannya (li al-ta’lil). Akan tetapi, huruf tersebut tidak dapat mengamal jir kecuali dalam tiga perkara:
a.       (مَا) istifhamiyah yang digunakan untuk menanyakan sebab dan tujuan. Contoh: كَيْمَهْ
b.      Mashdar muawwal dari (مَا) mashdariyah dan shilahnya. Contoh:  كَيْ مَا تَطْمَئِنُّ قَلْبِى تَنَزَّهْتُ
(aku berekreasi supaya hatiku tenang)
c.       Mashdar muawwal dari (أَنْ) mashdariyah dan shilahnya. Contoh:  كَيْ تَنْجَحَ إِجْتَهِدْ  (bersungguh-sungguhlah dirimu supaya kamu berhasil)
2.       مَتَى  : adalah huruf jir asli yang digunakan untuk menerangkan tempat atau waktu bermulanya suatu peristiwa (ibtida’ al-ghayah). Akan tetapi huruf tersebut hanya digunakan sebagai huruf jir oleh kabilah bani hudzail. Contoh:  قَرَأْتُ الْكِتَابَ مَتَى الصَّفْحَةِ الْأُولَى (saya membaca buku mulai halaman pertama).
3.      لَعَلَّ  : di kalangan bani uqail, huruf tersebut dianggap sebagai huruf jir syabihun bi al-zaid yang digunakan untuk menerangkan harapan terwujudnya sesuatu yang disebut sesudahnya (li al-tarajji wa al-tawaqqu’). Contoh: لَعَلَّ اللَّهِ فَضَّلَكُمْ
Akan tetapi masyarakat arab pada umumnya lebih sering menggunakan huruf tersebut sebagai salah satu saudaranya إِنَّ   
4.      وَاوٌ  : huruf tersebut termasuk huruf jir asli yang digunakan sebagai huruf qasam (sumpah). Dan huruf tersebut tidak dapat mengamal jir kecuali pada isim dhahir. Contoh:  وَالضُّحَى وَاللَّيْلِ إِذَاسَجَى  
5.      تَاءٌ  : huruf tersebut termasuk huruf jir asli yang digunakan sebagai huruf qasam sekaligus ta’ajjub. Akan tetapi huruf tersebut hanya dapat diikuti oleh kata (رَبٌّ ـ اللَّه ـ رَحْمَنْ). Contoh: تَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ (demi allah!  )


6

   مِنْ : huruf tersebut pada umumnya merupakan huruf jir ashli yang digunakan untuk bermacam-macam tujuan, yaitu:
ali tab'idh  :    menerangkan bahwa kalimat yang terletak sebelum huruf itu adalah bagian   dari kalimat sesudahnya. Contoh: وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُونَ إِلَيْكَ  (di antara mereka      ada orang  yang mendengarkan dirimu)
b  li bayanil jinsi  : menerangkan bahwa kalimat sesudahnya merupakan salah satu macam dari berbagai macam jenis kalimat sebelumnya. Contoh:   هَذَا ثَوْبٌ مِنْ حَرِيْرٍ    (ini adalah baju yang terbuat dari sutra)        
    kata baju adalah kalimat umum yang terdiri dari beberapa bahan jenis, baik sutra atau bukan.sedangkan baju sutra adalah salah satu jenis di antara berbagai jenis bahan baju  
c. ibtida' al-ghayah :  menerangkan permulaan tempat dan waktu berlangsungnya peristiwa. Contoh: 
سُبْحَانَ الَّذِي أًسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى  
d.  zaidah :  huruf yang tidak memberi keterangan tambahan apapun kecuali sebagai  penguat pembicaraan. Contoh: مَاجَأَنِى مِنْ رَجُلٍ  (tiada seorangpun yang datang padaku)
     huruf  مِنْ  dalam susunan kalimat di atas dianggap zaidah karena jika huruf tersebut dibuang susunan kalimat tersebut tidak akan mengalami perubahan arti yang cukup signifikan [1]. contoh: مَاجَأَنِى رَجُلٌ
     menurut mayoritas aliran bashrah مِنْ  zaidah hanya dapat digunakan dalam struktur   kalimat apabila memenuhi dua syarat, yaitu: a). didahului oleh nafi dan syibh al-nafi( istifham dan  nahi) b). majrurnya adalah isim nakirah.
      akan tetapi imam al-ahfasy dan para penganut aliran kufah tidak mensyaratkan hal tersebut   asalkan majrurnya adalah isim nakirah.  
e  badal : digunakan untuk memilih dan mengutamakan salah satu diantara dua perkara  tanpa  proses  tukar-menukar. Contoh:  لَجَعَلْنَا مِنْكُمْ مَلاَئِكَةُ فِى الأَرْضِ يَخْلُفُونَ  لَوْنَشَاءُ  (kalau kami  menghendaki kami  jadikan malaikat sebagai ganti dari kalian untuk menjadi khalifah di muka bumi).
f.   ta'lil :    digunakan untuk menerangkan sebab dan tujuan dalam terwujudnya sesuatu yang lain. contoh: مِمَّاخَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا  (mereka ditenggelamkan hanya sebab kesalahan yang mereka perbuat)
   إِلَى  :  huruf tersebut termasuk huruf asli yang digunakan untuk menerangkan waktu dan tempat berakhirnya sesuatu (intiha’ al-ghayah). Contoh:  سِرْتُ مِنْ بِيْرُوتَ إِلَى دَمْشِقَ (aku berjalan dari Beirut sampai damsyiq)
Pada umumnya, isim yang terletak di belakang kata  tidak masuk pada hukum yang ada di depannya kecuali jika ditemukan adanya indikasi yang menyatakan sebaliknya. Oleh sebab itu, apabila seseorang menyatakan أَكَلْتُ السَّمَكَةَ إِلَى رَأْسِهَا (saya memakan ikan sampai kepalanya) maka ia sebetulnya menyampaikan bahwa bagian kepala ikan itu tidak ikut dimakan, karena bagian kepala tidak masuk pada hukum yang ada di depannya.
8.       حَتَّى : huruf tersebut merupakan huruf ashli yang digunakan untuk menerangkan waktu dan tempat berakhirnya sesuatu (intiha’ al-ghayah). Akan tetapi, huruf tersebut hanya dapat dihubungkan pada isim dhahir baik isim sharih atau mashdar muawwal. Contoh: بَذَلْتُ مَالِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى أَخِرِدِرْهَمٍ عِنْدِي
Isim yang terletak sesudah kata  pada umumnya masuk pada hukum yang ada di depannya. Oleh sebab itu, apabila seseorang mengucapkan kata   السَّمَكَةَ حَتَّى رَأْسِهَا أَكَلْتُ maka ia sebetulnya hendak menyampaikan bahwa bagian kepala ikan itu juga dimakan, karena bagian kepala dianggap masuk pada hukum yang ada di depannya.
9.      لاَمْ  : huruf tersebut pada umumnya merupakan huruf asli dan memiliki fungsi sebagai berikut:
a.     Li al-milk: huruf tersebut berada diantara dua isim ain (benda konkret) dan menerangkan bahwa isim yang terletak di belakangnya merupakan pemilik atas isim yang ada di depannya. Contoh: الْمَنْزِلُ لِسَعِيدٍ (rumah itu kepunyaan said)
b.    Syibh al-milk: huruf tersebut menerangkan bahwa isim yang terletak di depan huruf itu diperuntukkan bagi isim yang ada dibelakangnya. Contoh: لِخَزَانَتِى الْمِفْتَاحُ (kunci itu untuk lemariku), الْحَمْدُ لِلَّهِ (segala puji untuk allah).
            Dikalangan ahli nahwu huruf tersebut dikenal sebagai lam ikhtishash wa al- istihqaq.
     c.    Intiha’ al-ghayah:  huruf tersebut memiliki arti seperti إِلَى dan menerangkan bahwa peristiwa                 di depannya berhenti dan berakhir sebab sudah sampai pada majrurnya.  Contoh:
كلٌّ يجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمَّي                                                                                                               
d.   Ta’lil wa al-shairurah: huruf tersebut menerangkan bahwa kalimat sesudahnya merupakan sebab atau tujuan dari kalimat di depannya. Contoh: سَأَتَعَلَّمُ لِلْحَيَاةِ السَّعِيدَةِ  (saya belajar agar saya hidup bahagia)
e.   Ta’diyah : huruf tersebut digunakan untuk mengubah fiil lazim menjadi fiil muta’addi. Contoh:
f.   Zaidah li al-taukid : sama seperti huruf zaidah pada umumnya, huruf tersebut hanya digunakan sebagai penguat kalam. Dan biasanya huruf tersebut ada diantara fiil dan maf’ulnya. Seperti dalam lirik syair berikut:
مَلَكْتَ مَابَيْنَ الْعِرَاقِ وَيَثْرِبَ # مَلِكًاأًجَارَلِمُسْلِمٍ وَمُعَاهِدٍ
g.    Taqwiyah: menurut mayoritas ahli nahwu huruf tersebut tergolong sebagai huruf zaidah dengan alasan isim yang terletak sesudah huruf itu lafadznya jir namun mahalnya nashab.
Sungguhpun demikian, huruf tersebut tidak hanya digunakan sebagai penguat kalam saja namun juga digunakan untuk menguatkan amil yang lemah. Hal itu terjadi apabila amilnya berbentuk isim fail atau shighat amtsilat al-mubalaghah, atau terletak di belakang maf’ulnya. Contoh: مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ ـ إِنْ كُنْتُمْ لِلرُّؤْيَاتَعْبُرُونَ         
10.  فِى  : adapun tujuan penggunaan huruf tersebut adalah:
a.       Dzarfiyah: الْقَهْوَةُ فِى الْفُنْجَانِ  (kopi itu di dalam cangkir)
b.   Sababiyah : menerangkan bahkan isim yang berada di belakangnya merupakan alasan timbulnya suatu peristiwa. Contoh: امْرَأَةٌ النَّارَفِى هِرَّةٍ حَبَسَتْهَادَخَلَتِ (seorang perempuan dimasukkan ke dalam neraka karena kucing yang ia kurung)
11.  بَاءٌ  : adapun tujuan penggunaan huruf tersebut adalah:
a.   Ilshaq:  menerangkan bahwa isim sesudahnya merupakan sesuatu yang melekat dengan banda yang ada di depannya. tujuan tersebut merupakan tujuan dasar dari kata tersebut. bahkan imam sibawaih menganggap tujuan ilshaq sebagai satu-satunya tujuan penggunaan huruf tersebut. contoh:  بَاللِّصِّ أَمْسَكْتُ  
Adapun arti dari susunan kata di atas yaitu saya memegang tubuh atau sesuatu yang melekat di tubuhnya seperti baju dan lain-lain.
b.    Dzarfiyah:  `لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّهُ بِبَدَرٍ (allah telah membri kemenangan pada kalian di peperangan badar)
c.   Sababiyah: menerangkan bahwa kalimat kesudahnya merupakan sebab dan tujuan dari sesuatu sebelumnya. Contoh: فَأَخَذَهُمُ اللَّهُ بِذُنُوبِهِمْ (maka allah membinasakan mereka sebab dosa-dosa yang mereka perbuat)
d.  Istianah: menerangkan bahwa kalimat sesudahnya merupakan alat untuk mengerjakan perbuatan di depannya. Contoh: كَتَبْتُ بِالْقَلَمِ  (aku menulis dengan pulpen)
e.      Ta’diyah:   ذَهَبْتُ بِالْمَرِيْضِ إِلَى الطَّبِيبِ (saya membawa pergi orang sakit pada dokter).
f.    Badal :  huruf tersebut digunakan untuk memilih dan mengutamakan salah satu diantara dua perkara. Dan pada umumnya isim yang terletak sesudah huruf itu merupakan sesuatu yang tidak dipilih. Contoh:  الَّذِينَ اشْتَرَوُاالضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى أُولَئِكَ  (mereka itu adalah orang-orang yang lebih senang membeli jalan kesesatan dibanding membeli jalan petunjuk)
g.   Iwadl : adalah menyerahkan sesuatu sebagai ganti dari sesuatu yang ia ambil. Contoh:  الْكِتَابَ بِعَشْرَةِ دَرَاهِمَ إِشْتَرَيْتُ  (saya membeli buku dengan harga sepuluh dirham)
h.    Qasam :  huruf tersebut merupakan huruf qasam yang asli. Berbeda dengan huruf qasam yang lain, huruf tersebut dapat dihubungkan pada isim dzahir maupun dhamir bariz. Contoh: بِكَ لَأُعَاوِنَنَّ الضَّعِيفَ ـ بِاللَّهِ لَأُعَاوِنَنَّ الضّعِيفَ
i.    Zaidah li al-taukid : pada umumya penggunaan huruf tersebut tidak ada yang bersifat qiyasi kecuali jika huruf tersebut terdapat pada kalimat berikut:
1.      Khabar dari kata (لَيْسَ) dan (مَا) nafiyah أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
2.      Fail dari kata (كَفَى): وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا 
3.      Maf’ul dari kata (أَحْسَّ), (سَمِعَ), dan (عَرَفَ):
4.      Tab’idl (مِن) :  عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُونَ ()
5.      Mujawazah (عَنْ):  سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ  ()
6.      Mushahabah (مَعَ):
12.  عَنْ  :  adapun tujuan penggunaan huruf tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Mujawazah: menjauhnya sesuatu dari isim yang berada di belakang huruf tersebut karena  perbuatan yang ada di depannya. Contoh: رَمَيْتُ السَّهْمِ عَنِ الْقَوْسِ (saya melempar panah dari busur)   
Adapun maksud dari susunan kata di atas adalah menjauhnya anak panah dari busurnya sebab dilempar.
b.      memiliki arti seperti kata (بَعْدُ): لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًاعَنْ طَبَقٍ ()
c.       memiliki arti seperti kata (عَلَى): مَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ ()
13.  عَلَى  :   adapun tujuan penggunaan huruf tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Isti’la’: menerangkan bahwa kalimat yang berada di atas majrurnya adalah kalimat sebelumnya. Contoh: وَعَلَيْهَاوَعَلَى الْفُلْكِ تُحْمَلُونَ  ()
b.      Dzarfiyah: memiliki arti seperti kata (فِى). Contoh: وَدَخَلَ الْمَدِينَةِ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا ()
c.       Mujawazah : memiliki arti seperti kata (عَنْ). Contoh: إِذَارَضِيَ عَلَيَّ بَنُوقُشَيْرٍ ()
d.      Ta’lilالْمُحْسِنَ عَلَى إِحْسَانِهِأَشْكُرُ (aku berterimakasih pada orang orang yang berbuat baik karena kebaikannya)
14.  كَافٌ  : huruf tersebut merupakan huruf yang hanya dapat dihubungkan pada isim dhahir. Adapun tujuan penggunaan huruf tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Tasybih: menerangkan bahwa kalimat di depannya memiliki kesamaan dengan kalimat sesudahnya. Dan tujuan ini merupakan tujuan dasar dari penggunaan huruf tersebut. Contoh:  الْأَرْضُ كُرَّةٌ كَالْكَوَاكِبِ الْلأُخْرَي (bumi itu bulat seperti planet-planet yang lain)
b.      Ta’lil : menerangkan bahwa kalimat sesudahnya merupakan sebab dan tujuan dari pekerjaan di depannya. Contoh:  كَمَاهَدَاكُمْ وَاذْكُرُوهُ (ingatlah kalian kepadanya karena dialah yang memberi petunjuk pada kalian)
c.       Zaidah li al-taukid : لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ  (tidak ada seorangpun yang serupa dengan dzat-nya)
15.  رُبَّ  : huruf tersebut dapat digunakan untuk menerangkan arti banyak (taktsir) atau sedikit (taqlil) tergantung konteks pembicaraannya, serta hanya dapat mengamal pada isim nakirah yang disifati dengan sifat mufrad, jumlah, ataupun syibhul jumlah (nakirah maushufah). Contoh:
   صَدِيقٍ فِى الشِّدَّةِ عَرَفْتُهُ ـ رُبَّ مَلُومٍ لاَذَنْبَ لَهُ عَرَفْتُهُ ـ رُبَّ صَدِيقٍ لاَزَمَكَ عَرَفْتُهُ ـ رُبَّ صَدِيقٍ خَائِنٍ عَرَفْتُهُ رُبَّ 
Namun terkadang huruf tersebut bisa mengamal pada dhamir ghaib yang memilki tamyiz berupa isim nakirah dengan syarat dhamirnya harus berbentuk mufrad mudzakkar ghaib sedangkan tamyiznya harus disesuaikan dengan maknanya. Contoh:
رُبَّهُ رَجُلاً لَقِيْتُهُ ـ رُبَّهُ فَتَاةً لَقْيْتُهَا ــ رُبَّهُ رَجُلَيْنِ لَقِيْتُهُمَا ــ رُبَّهُ رِجَالاًلَقِيْتُهُمْ 
16.  مُذْ ـ مُنْذُ  : huruf tersebut hanya dapat dianggap sebagai huruf jir apabila majrurnya berupa kata keterangan waktu yang mutasharrif , tidak mubham, serta  tidak menunjukkan masa yang akan datang. Sedangkan fiil di depannya harus berupa fiil madli yang manfi atau berlangsung lama. oleh sebab itu seseorang tidak dibenarkan mengucapkan kata الْغَدِ ـ مُنْذُزَمَنٍ ـ مُنْذُسَحَرَـ مُنْذُ الْبَيْتِ ـ مُنْذُهُ مُنْذُ 
Apabila kalimat sesudahnya berbentuk makrifat dan menunjukkan waktu lampau maka kedua huruf tersebut memiliki makna ibtida’ al-ghayah.  الْقُرْأَنَ مُنْذُ يَوْمِ الْجُمْعَةِ مَاقَرَأْتُ (saya tidak membaca qur’an sejak hari jum’at).
Arti huruf tersebut dalam susunan kata di atas sama dengan arti huruf (مِنْ) dalam susunan kata الْقُرْأَنَ مِنْ يَوْمِ الْجُمْعَةِ مَاقَرَأْتُ
Dan apabila kalimat sesudahnya berbentuk makrifat dan menunjukkan waktu saat ini maka kedua huruf tersebut memiliki arti dharfiyah (فِى). قَرَأْتُهُ مُنْذُ الْيَوْمِ مَا (saya tidak membaca qur’an sejak hari ini).
Dan apabila kalimat sesudahnya berbentuk nakirah ma’dudah maka kedua huruf tersebut memiliki arti ibtida’ wa al-intiha’. Contoh: مَاأَكَلْتُ شَيْئًا مُنْذُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ (saya tidak makan apapun selama tiga hari)
Di samping sebagai huruf jir, kata tersebut juga dapat dianggap sebagai kalimat isim. Sedangkan kalimat sesudahnya harus dibaca rafa’ karena menjabat sebagai khabarnya. Contoh: الْقُرْأَنَ مُنْذُ يَوْمُ الْجُمْعَةِ مَاقَرَأْتُ - قَرَأْتُهُ مُنْذُ الْيَوْمُ مَا - مَاأَكَلْتُ شَيْئًا مُنْذُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ
Apabila kalimat sesudahnya menunjukkan waktu sekarang maka kedua kata tersebut lebih baik dianggap sebagai huruf jir sedangkan isim yang terletak sesudah kedua huruf tersebut menjabat sebagai majrurnya.
Namun apabila kalimat sesudahnya menunjukkan arti lampau maka kata (مُنْذُ) lebih baik dianggap sebagai huruf jir sedangkan kata (مُذْ) lebih baik dianggap sebagai isim. Contoh: مَاذَهَبتُ إِلَى الْمَدْرَسَةِ مُذْ يَوْمَانِ ـ مَاذَهَبْتُ مُنْذُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ     
C.     Beberapa ketentuan seputar huruf jir
Di samping sebagai huruf jir, (كَافْ) juga dapat dianggap sebagai isim seperti kata (مِثْلٌ). Oleh karena itu, semua ketentuan yang terdapat dalam setiap isim mabni juga terdapat dalam kalimat tersebut. contoh: مَاعَاتَبَ الْحُرَّالْكَرِيْمَ كَنَفْسِهِ (orang seperti dirinya tidak pernah menghina orang merdeka yang berhati mulia)
Lafadh (كَافْ) dalam contoh di atas merupakan isim karena kalau kalimat tersebut dianggap huruf maka susunan kalimat di atas tidak akan memiliki fail. Sedangkan isim yang terletak sesudah kata tersebut menjabat sebagai mudhaf ilaihnya.
Sedangkan lafadz (عَنْ) dan (عَلَى) juga dapat digunakan sebagai isim apabila didahului oleh huruf (مِنْ). Contoh:
1.       تَمُرُّمِنْ عَلَى بَلَدِنَاالطَّائِرَاتُ (banyak pesawat melintas di atas negeri kita)
2.      مِنْ عَنْ يَسَارِكَ سَعِيدٌ (di sisi kirimu ada said)
Adapun arti dari (عَنْ) ketika digunakan sebagai isim sama dengan kata (جَانِبَ) sedangkan arti dari (عَلَى) ketika digunakan sebagai isim sama dengan kata (فَوْقَ). Sedangkan isim yang terletak sesudah kedua kata tersebut dibaca jir karena menjabat sebagai mudhaf ilaih.
Apabila (مَا) zaidah ditambahkan sesudah kata (مِنْ), (عَنْ), (بَاء) maka huruf-huruf tersebut tetap mengamal seperti saat tidak mendapat tambahan apapun. Contoh: فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ
Namun apabila huruf tersebut ditambahkan pada kata (كَافْ), dan (رُبَّ) maka biasanya kedua huruf tersebut tidak dapat mengamal pada kalimat lain serta dapat dihubungkan dengan jumlah fi’liyah dan ismiyah. Contoh: زُرْتُكَ رُبَّمَا  
D.    Hukum membuang huruf jir tanpa menghilangkan kemampuan mengamalnya
Adapun hukum membuang huruf jir dan membiarkannya tetap mengamal seperti saat belum dibuang pada umumnya harus didasarkan atas apa yang didengar dari orang arab (simai) kecuali dalam beberapa tempat, diantaranya:
1.     Apabila huruf jirnya adalah (رُبَّ) yang didahului oleh huruf (وَاو), (فَاء), dan (بَلْ). Contoh:  وَلَيْلٍ كَمَوْجٍ أَرْخَى سُدُولَهُ
Adapun asal mula susunan kalimat tersebut sebelum huruf jir di dalamnya dibuang adalah وَرُبَّ لَيْلٍ كَمَوْجٍ أَرْخَى سُدُولَهُ
2.     Apabila majrurnya berupa mashdar yang merupakan ta’wil dari kata (أَنْ) mashdariyah dan jumlah fi’liyah sesudahnya, atau berupa mashdar yang merupakan ta’wil dari kata (أَنَّ) dan kedua ma’mulnya. Contoh: أَفْرَحُ أَنَّ الصَّانِعَ بَارِعٌ ـ أَفْرَحُ أَنْ يَبْرَعَ الصَّانِعُ
Adapun asal mula susunan kalimat tersebut yang sesungguhnya sebelum huruf jir di dalamnya dibuang adalah  بِأَنَّ الصَّانِعَ بَارِعٌ ـ بِأَنْ يَبْرَعَ الصَّانِعُأَفْرَحُ
3.   Apabila majrurnya menyandang jabatan sebagai tamyiz dari (كَمْ) istifhamiyah dengan ketentuan kalimat tanya di dalamnya dijirkan oleh huruf jir lain di depannya. Contoh: بِكَمْ دِرْهَمٍ اشْتَرَيْتَ الْكُتُبَ (berapa dirham kamu membeli buku)
Adapun asal mula yang sesungguhnya dari kalimat tersebut sebelum huruf jir di dalamnya dibuang adalah بِكَمْ مِنْ دِرْهَمٍ اشْتَرَيْتَ الْكُتُبَ
4.   Apabila huruf jir dan majrurnya berada tepat setelah huruf athaf. dengan syarat huruf tersebut sama dengan huruf jir milik ma’thuf alaihnya. Contoh: لِخَالِدٍ دَارٌوَسَعِيدٍ بُسْتَانٌ   
Adapun asal mula kalimat tersebut sebelum huruf jirnya dibuang adalah  بُسْتَانٌ وَلِسَعِيْدٍ 



[1] Di samping itu, huruf tersebut juga berfungsi menerangkan keumuman jenis kalimat sesudahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar